06/02/10

Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan II)

8 Juni 1957

Serah terima & pembubaran TT-VII/Wirabuana serta KDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara) dilaksanakan di Lapangan Karebosi Makassar.

Pembubaran TT-VII/Wirabuana dan pembentukan empat KDM yang terpisah di Indonesia Timur merupakan pukulan berat bagi Permesta.

Beberapa perwira Permesta yang jabatannya hilang sehubung dengan pembubaran TT-VII/Wirabuana dan KoDPSST, diberi tugas belajar, atau kedudukan staf yang tidak fungsional tanpa tugas tertentu. Karena tugas belajar sering digunakan untuk membebaskan perwira yang tidak disukai atau tak mampu, mereka ini sering diremehkan. Kedudukan yang tidak berfungsi itu juga tidak disukai, karena ini biasanya berarti tamatnya karier militer. Perwira² yang mendapatkan kedudukan seperti itu dinamakan / diistilahkan "perwira yang diperbantukan" dan kalimat ini sering diplesetkan menjadi "perwira yang diperhantukan."

Perpecahan antara perwira² Permesta yang berkembang sekitar bulan Juni ini kadang² digambarkan sebagai perpecahan antara mereka yang disebut "Permesta damai" dan mereka yang merupakan "Permesta perang". Tetapi, perpecahan ini juga terjadi antara mereka yang mempunyai kedudukan dan mereka yang tidak mempunyai kedudukan.

10 Juni 1957

Letkol Ventje Sumual memerintahkan Letkol Saleh Lahede untuk mengumpulkan para eks. perwira TT-VII pendukung Permesta untuk mengadakan rapat di kediaman Saleh Lahede di Jl. Sam Ratulangi Makassar. Hadir dalam rapat itu para Perwira seperti Mayor Andi M. Jusuf, Mayor CPM Her Tasning, Letkol Andi Mattalatta, Mayor Dee Gerungan, Kapten Bing Latumahina, Letkol dr. O.E. Engelen, Mayor Eddy Gagola, Kapten Lendy R. Tumbelaka, Mayor Sjamsuddin, dan Kapten Arie W. Supit.

Para perwira tersebut banyak yang mengusulkan agar Permesta bertahan terus, kalu perlu dengan cara kekerasan. Rapat itu ditutup dengan perjanjian akan merahasiakan keputusan itu agar tidak disabot rombongan KSAD. Namun malam itu juga, Mayor Andi M. Jusuf & Mayor CPM Her Tasning membocorkan keputusan rahasia tersebut ke rombongan KSAD di Gubernuran Sulawesi.

(Waktu itu ada isu di kalangan rombongan KSAD bahwa Permesta telah mengarahkan meriam ke tempat tinggal rombongan KSAD, sehingga dipersiapkanlah sebuah panser untuk 'menjaga segala kemungkinan' penyerangan).

Karena secara formal Staf TT-VII telah dibubarkan, dengan demikian, juga Staf Pemerintah Militer yang dipimpin Saleh Lahede, maka sebelum meninggalkan Makassar menuju Manado, Ventje Sumual membentuk Dewan Tertinggi Permesta sebagai pucuk pimpinan Permesta.

Susunan Dewan Tertinggi Permesta adalah sebagai berikut:
Ketua : Letkol H.N. Ventje Sumual

Wakil Ketua : Letkol M. Saleh Lahede

Sekretaris : Kapten Bing Latumahina

Anggota : antara lain Letkol dr. O.E. Engelen, Ny. MathildaTowoliu-Hermanses, Makaraeng Mandarungi, Mochtar Lintang, Hutagalung, J. Mewengkang, J.E. Tatengkeng, Laodo Manoarfa, Abdul Muluk Makatita.

Letkol H.N. Ventje Sumual dan sebagian besar perwira TT-VII dari Sulawesi Utara/Minahasa, seperti Mayor J.W. (Dee) Gerungan, Mayor Eddy Gagola, Kapten Lendy R. Tumbelaka, Kapten John Ottay, kembali ke Minahasa. Anggota² Batalyon 702 yang berasal dari Minahasa/Sulawesi Utara juga pergi ke Utara pada waktu itu, dan dua kompi di Sulawesi Utara yang terdiri dari sebagian besar orang Bugis dan Makassar pergi ke Selatan Sulawesi dan menduduki tempat yang ditinggalkan mereka di KDM-SST.

Letkol Ventje Sumual kemudian membuat markas Permesta di kompleks peristirahatan Persanggrahan Indraloka yang kala itu bernama "Thermo mandi Kinilow". Tercatat P.M. Tos anggota Kopedua (KoP2) yang menjadi kurir dari Panglima Permesta tersebut.

13 Juni 1957

Dalam sebuah siaran radio hari ini, Mayor D.J. Somba menyatakan, ia akan selalu mendukung Letkol Ventje Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana, dan mengulangi pernyataan tanggal 8 Mei tentang hal yang sama.

19 Juni 1957

Hari ini, sekitar 30 orang, diantaranya banyak anggota PKI, ditangkap di Minahasa dan ditahan di Gorontalo.

20 Juni 1957

Di Sulawesi Utara-Tengah diproklamirkan provinsi Sulawesi Utara, dihadiri Letkol Ventje SUMUAL, Mayor D.J. SOMBA, Kolonel Dahlan DJAMBEK, dll. Konferensi dinas yang diselenggarakan di Kotamobagu itu dihadiri oleh Letkol H.N. Ventje Sumual dan stafnya, Kolonel Dahlan DJAMBEK, dll.

Malah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang ketika itu berada di Manado juga menghadirinya (Prof. Soemitro memang telah berada di Manado yaitu menyingkir ke sana sejak tahun 1956 (Mei 1957?) akibat kemelut politik karena ia adalah salah satu pimpinan Partai Sosialis Indonesia/PSI dan menikah dengan orang Minahasa yaitu Dorah Sigar asal Langowan, nanti pada Konferensi Sungai Dareh di Sumatera pada akhir 1957, ia baru keluar daerah itu, berangkat dengan Letkol H.N. Ventje Sumual dan stafnya). Dalam rapat itu diputuskan, mengangkat Henny Djusuf MANOPPO, seorang Residen-koordinator Sulawesi Tengah (sekaligus Bupati/ Kepala Daerah Bolaang Mongondow dan bekas raja Bolaang Mongondow terakhir) yang banyak pengalaman dalam masalah pemerintahan daerah, sebagai Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah. Wilayahnya dibagi dalam enam kabupaten dan satu kotamadya yaitu:

1. Kotamadya Manado

2. Kabupaten Minahasa

3. Kabupaten Gorontalo

4. Kabupaten Bolaang Mongondow

5. Kabupaten Sangir Talaud

6. Kabupaten Sulawesi Tengah

7. Kabupaten Tanah Toraja

21 Juni 1957

O.F. Pua, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Minahasa dan sebagai anggota PNI, dipenjarakan oleh Pemerintahan Militer Permesta dengan alasan yang tidak diterangkan, tetapi hanya sebentar saja.

23 Juni 1957

Dalam sebuah rapat di Kinilow, Letkol Ventje Sumual mengumumkan kesediaannya untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk mempertahankan dirinya sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana.

Namun ia menandaskan, gerakan Permesta bukanlah gerakan separatisme. Penyelesaian yang wajar dengan pemerintah pusat, tetap tujuannya.

Sepanjang sejarah Permesta, lambang² kebangsaan Indonesia seperti bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang Bhineka Tunggal Ika, serta hari Proklamasi, tetap dijunjung tinggi dan bermakna seperti wilayah² lain di Indonesia. Perayaan hari Proklamasi 1957, umpamanya tidak kurang meriah daripada tahun² sebelumnya.

Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan Sario–Manado, dihadiri sekitar 40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di Gubernuran. Gubernur Manoppo, Panglima Sumual dan Mayor D.J.Somba memberi sambutan yang meyakinkan.

25 Juni 1957

Pengumuman dari Seksi Penerangan Team Bantuan Sulawesi Utara yang disiarkan dalam pers Manado:

"Sesuai dengan maksud dan tudjuan tertjantum dalam Rentjana Undang-Undang "Wadjib Bela Umum," maka untuk pertama kalinja di seluruh Indonesia akan diadakan pertjobaan milisi di wilajah GubMil Sul-Ut.

Pertjobaan milisi tersebut akan dilakukan dalam waktu jang singkat, sedangkan mereka jang akan dilatih diutamakan mereka jang sudah pernah memanggul sendjata. Demikian..."

Pengumuman ini sampai di Jakarta bersamaan dengan berita proklamasi pembentukan provinsi Sulawesi Utara secara sepihak oleh Konferensi Kerja Permesta di Gorontalo.

26 Juni 1957

Letkol Herman Pieters dilantik sebagai komandan Komando Daerah Militer Maluku dan Irian Barat.

Januari - Juni 1957

Kopra yang diekspor dari wilayah Minahasa selama periode bulan Januari-Juni 1957:

- Antar pulau sejumlah 13.972 ton

- Ke luar negeri 34.170 ton kopra

* Barter kopra dengan beras per kilogram yang oleh Permesta perbandingannya adalah 1:1 kg, serta yang dibarter di Singapura ada sekitar 230.000 ton kopra

3 Juli 1957

Dalam awal pertemuan rapat pemuda bersama utusan² Kongres Pemuda yang akan dibuka tanggal 5 Juli, Letkol Ventje Sumual di Markas Permesta di Kinilow Tomohon, menegaskan bahwa dengan atau tanpa izin dari pusat, ia adalah pimpinan militer tertinggi di Indonesia Bagian Timur. Ia berkata bahwa hanya ada dua pilihan: "hidup dan berjuang dengan Permesta, ataukah mengekor dengan pusat." Ia berkata seterusnya: "bila ternyata ada tokoh² tertentu yang mau dengan sengaja membendung Permesta, namun kami akan berusaha menerima, mempersatukan serta mempertemukan mereka dengan kita. Tetapi kalau dalam kenyataan ada gejala² yang kuat seolah² tindakan² terlalu merugikan maka demi keselamatan Permesta kita terpaksa menjalankan hukum revolusioner."

4 Juli 1957

Letkol M. Saleh Lahede diperiksa hari ini oleh tim bentukan Mabes TNI-AD (MBAD) berkaitan dengan keterlibatannya yang nyata dalam gerakan Permesta.

5 Juli 1957

Letkol Herman Pieters, Letkol Minggu, Mayor D.J. Somba, ditunjuk sebagai administrator militer dari daerah mereka sesuai dengan Hukum Darurat Perang oleh Pemerintah Pusat.

5-11 Juli 1957

Kongres Pemuda Indonesia Timur digelar di Tondano. Ide Kongres itu lahir setelah Bhinneka Tungga Ika di Ujungpandang, Mei 1957. Ketika itu, Ketua Badan Musyawarah Dewan Pemuda Indonesia Timur, R.A. Daud, mengusulkan para pemuda harus juga mengadakan kongresnya sendiri. Pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Pemuda Sulawesi Utara oleh tokoh² yang pernah bergabung dalam Dewan Manguni di Manado sebelum 2 Maret 1957.

Kongres Pemuda Indonesia Timur yang dilangsungkan di Tondano ini dengan Jan Torar sebagai Ketua Panitia. Berbagai organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa seluruh Indonesia Timur mengirimkan wakil²nya ke Tondano, malah wakil² tersebut diambil dari wilayah tingkat II dan mendapat bantuan pemerintah setempat.

Hadir dalam kongres itu utusan² dari Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara (Bali). Ketua Dewan Pemuda Indonesia Timur itu ternyata tidak hadir.

Salah satu keputusan penting dalam Kongres Pemuda Indonesia Timur ini adalah pembentukan suatu wadah tunggal yang dinamakan Komando Pemuda Permesta (KoP2) dengan suatu pimpinan utama dan beberapa departemen, seperti Departemen Pengerahan Tenaga, Pertahanan, Pendidikan dan Kebudayaan, Ekonomi dan Sosial, Keuangan, Agama dan Umum. Untuk periode pertama Kongres memilih Jan Torar yang memimpin Departemen Pengerahan Tenaga untuk menjadi Pemimpin Umum KoP2. Pimpinan lainnya adalah P.M. Tos (Departemen Pertahanan), Badar Alkatiri (Departemen Agama), Assegaf (--> K.H. Arifin Assegaf?) (Departemen Sosial Ekonomi), Abdul Chalil (Departemen Umum).

Komando Pemuda Permesta yang dibentuk dalam kongres diberi status setengah resmi oleh Letkol Ventje Sumual. Ketika timbul konflik senjata pada 1958, sejumlah besar anggota KoP2 di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta.

Sebelum itu, kegiatan KoP2 adalah membantu pemerintah daerah masing² mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah². Hasil yang dicapai organisasi pemuda ini secara swadaya, misanya seperti pembangunan berbagai gedung² sekitar 80 buah, dan yang dijadikan kantor Gubernur Daerah Sulawesi Utara selama ± 40 tahun - serta jalan raya cukup membanggakan.

Selain itu di Sulawesi Selatan terbentuk Parlemen Pemuda Permesta Wirabuana dengan pimpinan Matulada.

Pada tanggal 11 November 1957, Letkol Ventje Sumual, sebagai pimpinan tertinggi Permesta, menggabungkan organisasi² pemuda itu menjadi Dewan Tertinggi Pemuda Permesta dengan kedudukan di Makassar.

17 Juli 1957

Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Sulawesi Utara yang terdiri dari pejabat tinggi yang berasal dari Minahasa, yaitu Menteri Kehakiman Gustaf A. MAENGKOM, Menteri Perindustrian Ir. Fred J. INKIRIWANG, Duta Besar RI di Kanada Lambertus Nicodemus PALAR, Anggota Konstituante Arnold Isaac Zacharias MONONUTU. Mereka mengadakan perjalanan ke Sulawesi Utara dari tanggal 17 Juli sampai 5 Agustus 1957.

Pada saat yang sama, Gubernur Sulawesi Utara H.D. MANOPPO sedang menghadiri Konferensi Gubernur se-Indonesia di Jakarta. Ia mendapat kepastian dari beberapa menteri di Jakarta, bahwa pembentukan provinsi di Sulawesi Utara adalah maksud pemerintah pula.

Sebelum mengadakan pembicaraan dengan Dewan Tertinggi Permesta, misi Maengkom mengadakan peninjauan ke pelbagai daerah. Mereka menyaksikan sendiri, pembangunan wilayah ini memang benar² berhasil. Di mana² rakyat menyambut mereka dengan gembira. Rapat² umum diselenggarakan di berbagai tempat untuk memberikan kesempatan kapada rombongan dari pusat itu untuk menjelaskan kepada rakyat tentang maksud tujuan kedatangan mereka.

23 Juli 1957

Persetudjuan Kinilow antara Pemerintah Pusat dan Pimpinan Permesta.
  

Dalam pertemuan jang bersifat ramah-tamah jang diadakan di Pesanggrahan Kinilow, pada tanggal 23 Djuli 1957 antara Pemerintah Pusat jang diwakili

(1) Menteri Kehakiman G.A. Maengkom, 
(2) Menteri Perindustrian Ir. F. Inkiriwang, 
(3) Duta Besar RI di Canada L.N. Palar, 
(4) Anggota Konstituante Arnold Mononutu di satu pihak, dan Penguasa Militer Sulawesi Utara dan 
Stafnja di lain pihak, maka jang disebut pertama dengan maksud membuka kesempatan guna membitjarakan
persoalan² pokok sebagai jang tertjantum dalam Piagam Permesta, dengan ini menjatakan menjetudjui hal² 
tersebut di bawah ini:
1.Surat Keputusan Panglima/Penguasa Militer TT VII Wirabuana No. Kpts.0139/36/1957 tentang 
pembagian Indonesia Bahagian Timur dalam enam provinsi otonom sebagai yang dimaksud dalam 
Surat Keputusan No. Kpts.0149/36/1957 dan Surat Keputusan No. 0141/36/1957.
2.Anggaran Belandja Provinsi Sulawesi Utara diterima langsung oleh Provinsi tersebut mulai pada hari 
pembentukannja.
3.Routine bergrontingen daerah² Tingkat II serta verticale diensten jang belum lagi diterima segera akan 
dikirimkan oleh pemerintah pusat.
4.Penjelenggaraan import dan ekspor sejak 2 Maret 1957 di dalam wilajah  Sulut tetap berlaku sehingga 
adanja penjelesaian terachir dari pada persoalan² antara pemerintah pusat dan daerah².
5.Pemerintah Pusat mendjamin perhubungan laut dan udara interinsulair.
6.Pemerintah Pusat akan melenjapkan segala kesulitan² jang dialami oleh Sulut dalam perdagangan 
intersulair.
7.Pembentukan Universitas di Sulawesi Utara. 
 
Demikianlah keputusan Pemerintah Pusat dalam menjatakan menjetujui hal² jang disebut di atas, lepas
dari pada persoalan² pokok sebagai jang tertjantum dalam Piagam Perdjuangan Semesta Wilajah TT-VII 
Wirabuana.
 
Dikeluarkan di: Kinilow
Pada tanggal: 23 Juli 1957
 
Mengetahui: 
Panglima/Penguasa 
Militer TT-VII 
Wirabuana
Tertanda:
G.A. Maengkom
          Ir. F. Inkiriwang 
A. Mononutu
 
Demikianlah pernjataan resmi kedua pihak untuk kepentingan umum (khalajak ramai). Selain itu, 
kesimpulan akhir pembitjaraan kedua belah pihak adalah, Delegasi Misi Pemerintah Pusat akan 
mengadjukan kepada Pemerintah Pusat hal² sebagai berikut:
1.Gubernur² Militer Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi Utara segera dilantik.
2.Letkol Sumual dilantik sebagai Panglima Komando Indonesia Timur.
3.Staf Komando Indonesia Timur ditentukan atas usul Panglima.
4.Stabilitas Angkatan Darat harus ditjapai melalui musjawarah collegial dengan ketentuan bahwa 
musjawarah jang dimaksud sudah harus dimulai dalam waktu satu bulan sesudah Misi tiba di Djakarta.

Kemudian Misi Pemerintah Pusat itu kembali ke Jakarta serta melaporkan hasil perundingan tersebut. Namun tampaknya Pemerintah Pusat (Kabinet Djuanda) seolah² tidak mempedulikan isi dari persetujuan tersebut.


Permesta membangun jalan
antara Manado-Tomohon

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut:

Pada tahun² sebelumnya anggaran pembelanjaan daerah telah dibuat dan dikirim pada setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan² dan otorisasinya baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran dan biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian kembali akan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih.

Demikian dari tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun² menimpa daerah ini telah menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon² pengikut komunis (PKI) atau DI (barisan sakit hati) yang potensial.

Dari seluruh daerah di Indonesia Timur, wilayah Sulawesi Utara-lah yang paling giat membangun. Ini terutama berkat hasil kopra yang demikian besar di daerah ini. Penanganan ekspor kopra di wilayah ini dikendalikan suatu badan koordinasi yang dipimpin Nun Pantow. Penjualan kopra di luar negeri diatur oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Boetje Wantania, Mayor Jan Walandouw, dan Mayor (Purn.) Nun Pantouw sendiri.

Dari dana yang terkumpul itu, setiap bupati kepala daerah mendapat sejumlah dana untuk melaksanakan pelbagai proyek menyangkut pembuatan jalan, jembatan, sekolah² dan sebagainya.

Dari luar negeri Permesta Manado menerima barang² untuk pembangunan, antara lain truk, traktor medium dan besar, alat² besar untuk pembuatan jalan seperti stomwals, alat pemecah batu, semen besi beton dan keperluan untuk irigasi dan jembatan serta beras.

Pada pertengahan tahun 1957 barang² masuk sudah memenuhi gudang pelabuhan Bitung, membuktikan pada rakyat bahwa Permesta tidak mau bekerja setengah². Disamping alat² besar dan bahan² bangunan juga dimasukkan beras dan tekstil. Truk² pengangkut barang hilir-mudik antara Bitung dengan Manado, Tomohon, Kawangkoan, Amurang dan Kotamobagu. Sebagian diangkut dengan kapal ke Gorontalo, Buol, Donggala, Palu, Poso dan Sangir-Talaud. Rakyat yang selama masa kemerdekaan belum pernah melihat kesibukan yang begitu besar, dengan penuh suka cita menyambut setiap angkutan dengan pekik: "Hidup Permesta!".

Pada masa itu tercatat harga beras Rp 2,- per kg di Minahasa, sedangkan di Kotamobagu hanya Rp 1,75 sedangkan di Makassar sendiri harga bulan Juni naik dari Rp 2,9 menjadi Rp 3,-

Alat² pertanian seperti traktor, pertama² dikirim ke Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Bolaang Mongondow kemudian barulah dikirim ke daerah Minahasa. Tetapi alat² besar untuk pembuatan jalan dan jembatan tetap berada di Manado yang ketika itu sedang membangun jalan baru antara Modoinding Minahasa Selatan - Modayag - Kotamobagu. Rute Modoinding - Modayag, panjangnya ±19 km dan sudah lama diproyeksikan oleh Kepala PU Bolaang Mongondow Johan Pontoh. Pekerjaan lainnya adalah memperbaiki dan menarik jalan raya Inobonto - Lolak - Boroko yang sudah ada terus ke pelabuhan alam Labuan Uki sepanjang ±6 km. Pelabuhan Labuan Uki sangat baik untuk kapal² berukuran 3.000 sampai 6.000 ton.

Sudah sejak Juni 1957, rakyat berbondong² melaksanakan pelbagai proyek dengan semangat mapalus (gotong-royong). Lebih dari 100 orang desa Tompaso, Amurang, Radey, Sapa, Tenga, Pakuweru dan Pakuure berhasil membangun jalan 6 km yang menghubungkan desa² itu. Jalan antara Manado dan Tomohon sepanjang 25 km pun mulai ditingkatkan dan diperlebar. Dengan bantuan TNI, rakyat berhasil membangun jalan yang menghubungkan Kinalawiran dan Tompaso Baru di Minahasa Selatan.

Pada akhir tahun 1957 rute Manado - Kawangkoan - Amurang - Tompaso Baru - Modoinding - Modayag - Kotamobagu sudah dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu 3½ - 4 jam. Jarak sebelumnya memakan waktu sehari penuh. Jembatan² yang rusak dan tua antara Poigar di Minahasa Selatan dan Inobonto melalui pesisir pantai utara Bolaang Mongondow diganti atau diperlebar dan dialas dengan kayu² besi yang banyak ditemui di daerah ini. Jalan antara Inobonto - Kotamobagu diperbaiki dan diperlebar, begitu pula pada tempat² tertentu. Juga dibuat ponton² yang lebih kuat yang dapat dilalui alat angkut bermuatan penuh, sehingga jalan dapat digunakan untuk melancarkan pengangkutan hasil rakyat yang sangat membantu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat di Gorontalo.

Pada awal tahun 1958, jarak Manado- Inobonto-Boroko-Atinggola-Kwandang - Gorontalo sepanjang ±300 km, sudah dapat dilalui dengan kendaraan truk dalam waktu 17 jam.

Bupati Kepala Daerah Minahasa Laurens F. Saerang berhasil melaksanakan crash program pelebaran jalan raya dan pembuatan jalan² desa termasuk gang², sehingga dapat dilalui kendaraan bermotor. Dengan alat² sederhana, tetapi dengan semangat yang tinggi, penduduk dapat melaksanakan pekerjaan pelebaran jalan atau pembuatan jalan baru tanpa menuntut upah.

Pada waktu² makan, kaum ibu sudah siap menyajikan makanan dan minuman (saguer). Kepada petugas teknis dari instansi pemerintah yang memberi petunjuk dan bimbingan dengan para pekerja sukarela disuguhi makan dan minum oleh para ibu setempat.

Desa² Liningaan, Kinaweruan dan Tumani berhasil membangun sebuah bendungan di Sungai Ranoyapo untuk mengairi sekitar 100 hektar lahan pertanian. Rakyat Tonsea juga berhasil merehabilitasi jalan di wilayah itu sepanjang 120 km. Di Tombasian-Amurang, rakyat bermapalus membangun pelbagai proyek seperti rumah sakit umum, gedung SMP, gedung SD, saluran air, serta jalan² baru yang menghubungkan desa itu dengan desa² sekitarnya. Di desa Pinangsungkulan, sebuah bank desa berhasil dibangun. Di daerah Minahasa utara dibuka tanah² kosong di daerah Likupang, bagian barat/utara Gunung Dua Sudara dan di daerah sekitar Bitung.

Dan masih banyak lagi proyek² yang tidak seluruhnya dapat dilaporkan dalam pers setempat.

Tidak saja Kabupaten Minahasa mendapat alokasi dana untuk pembangunan. Juga Kabupaten Bolaang Mongondow memperlihatkan kegairahan yang luar biasa pada 1957. Demikian pula Kabupaten Sangir Talaud. Setiap distrik mendapat kesempatan membangun jalan baru atau merehab jalan² lama, serta membangun dan merehab gedung² sekolah, poliklinik dan lainnya. Di Sulawesi Tengah, pembangunan berjalan lancar di sekitar kota Poso, Banggai sampai Kabupaten Makale, Rentepao di Tanah Toraja.

Sulawesi Utara mampu mengerahkan sekitar 10.000 tenaga kerja untuk pembangunan. Terutama pembangunan jalan arteri yang menghubungkan Manado dan Bitung. Jalan antara Manado dan Gorontalo lewat Kotamobagu mulai dirintis Permesta dengan menggunakan tenaga² pemuda yang tergabung dalam KoP2 itu. Pemerintah Militer senantiasa menyediakan pelbagai peralatan seperti truk, buldoser, semen, aspal, dan lain²nya untuk pelbagai proyek yang spontan direncanakan penduduk desa.

Di daerah Kabupaten Poso, baru sebuah jalan yang dapat diperbaiki yaitu jalan raya Poso ke arah selatan sepanjang 30 km dan di daerah Kabupaten Palu, dari negeri Parigi melalui leher Sulawesi Tengah bagian timur ke arah barat sampai ke Palu sepanjang ±70 km. Untuk melintasi jalan ini kendaraan harus berhati², sebab kiri-kanan jalan terdapat jurang² yang amat dalam. Di Kabupaten Poso maupun di Kabupaten Palu/Donggala belum terdapat jaringan jalan², sehingga daerah² ini harus mendapat perhatian penuh dari Jawatan PU (Pekerjaan Umum).

Awal bulan Juni, Kastaf Gubmil Sulutteng bersama beberapa anggota staf tim asistensi mengadakan kunjungan ke daerah Gorontalo, Buol, Toli², Palu, Donggala, Parigi dan Poso dengan menggunakan kapal putih milik pemerintah, dengan membawa cukup uang di dalam karung² (uang waktu itu hanya uang kertas pecahan Rp 100 bergambar pahlawan Diponegoro).

Daerah yang ditinjau pertama ialah daerah Buol, dimana masih berlaku sistem feodal kerajaan. Baru pertama kali ini Buol dikunjungi seorang penguasa militer Sulutteng, sehingga cara² penerimaan tamu dan rombongan disesuaikan dengan upacara² adat kerajaan. Pembangunan di daerah ini sangat memprihatinkan. Jalan yang termasuk baik tidak lebih dari ½ km, sedangkan usaha untuk menambahnya tidak ada, lagi pula tenaga kerja tidak terdapat di sana. Sebuah jip kemudian diberikan kepada kepala daerah Buol, untuk merangsang mereka membangun jalan beraspal.

Di daerah Toli² rombongan tiba pada pagi hari. Meskipun keadaan pembangunan di sana sudah relatif lebih baik namun masih dianggap memprihatinkan: jalan² dan gedung pemerintahan serta asrama² kesatuan Polri masih perlu diperbaiki; sekolah² rakyat (SD) masih kurang disamping tenaga pengajar yang masih sangat kuran; dan jembatan yang sangat vital untuk daerah ini harus segera diperbaiki sebelum ambruk. Untuk mengerjakan pembangunan itu daerah meminta anggaran yang relatif kecil, sehingga Kastaf Penguasa Militer Sulutteng menugaskan para ahli tim asistensi untuk menghitung ulang dan ternyata bahwa jumlah yang dibutuhkan hampir dua kali lipat dari yang dianggarkan itu. Hari itu juga tim dapat menetapkan anggaran yang dianggap wajar yang diambil dari beberapa karung uang yang dibawa serta. Sore hari rombongan berangkat dari Toli² menuju Donggala.

Setelah mengikuti upacara penyambutan di Donggala yang dinilai rombongan terlalu berlebihan, langsung saja meninjau keadaan proyek² yang dianggarkan. Banyak sekali proyek yang diajukan, sehingga tim asistensi perlu meneliti proyek² mana yang harus didahulukan yaitu yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu enam bulan mendatang. Dalam peninjauan itu, dapat dilihat bahwa pembangunan² sekolah, asrama, poliklinik dan rumah sakit sama sekali tidak memadai.

Jalan² dan bangunan² banyak yang diterlantarkan. Banyak sekolah dasar yang berlantai tanah dan hanya mempunyai satu atau dua bangku, atapnya rata² bocor dan pada malam hari tempat² tersebut menjadi menjadi kandang kambing, sehingga di lantai dan bangku² terdapat kotoran kambing. Keadaan rumah sakit yang kekurangan tenaga perawat serta obat dan alat²nya tidak memadai kendati hanya untuk perawatan penyakit biasa.

Keadaan di daerah Poso tidak banyak berbeda dengan keadaan di Palu-Donggala. Untuk biaya pembangunan di daerah Poso, rombongan memberikan uang tunai sebesar Rp 3.500.000,- (yang diambil dari karung² uang yang dibawa serta) yang dianggarkan untuk pembangunan daerah sampai akhir 1957. Di samping itu untuk menutupi gaji yang sudah terlambat beberapa bulan, termasuk guru², dikeluarkan Rp 200.000,-.

Rombongan Tim Penguasa Militer Sulutteng ini tinggal selama 2 hari 2 malam dan seperti biasanya pada malam terakhir dihibur dengan tari²an daerah yang dilanjutkan dengan tari polonese.

Keesokan harinya melanjutkan peninjauan ke Gorontalo. Keadaan di sini sudah agak lebih baik dari kabupaten² sebelumnya. Bupati Sam Bia giat membangun daerahnya dengan 12 traktor untuk pertanian yang sudah dikirim beberapa waktu sebelumnya yang sudah dipekerjakan di sawah dan ladang. Selain itu Gorontalo sudah dapat membangun jaringan irigasi yang dapat mengairi ratusan hektar tanah yang pada waktu kunjungan tersebut diresmikan pemakaiannya. Bupati Sam Bia juga telah membangun sebuah stasiun radio, lapangan pacuan kuda, lapangan olahraga untuk atletik dan sebuah lapangan sepakbola.

Kunjungan ke daerah Gorontalo sudah dijadwalkan berlangsungnya pekan olah raga pelajar antar-Kabupaten dan pacuan kuda se-Sulawesi. Pada malam terakhir sebelum tim tersebut meninggalkan Gorontalo, maka bekas Residen-koordinator Sulawesi Tengah, H.D. (Wim) Manoppo dilantik menjadi Gubernur/Kepala Pemerintahan Sipil Permesta di Sulutteng yang berkedudukan di Manado. Bekas Residen Wim Manoppo baru diberitahu tentang pengangkatannya 6 jam sebelum dia dilantik, yaitu pukul 09.00 pagi. Sore harinya dengan kapal cepat milik Bea Cukai Manado, rombongan tim asistensi Kastaf Gubmil Sulutteng Mayor Dolf Runturambi dengan Gubernur Wim Manoppo dan rombongan Letkol Ventje Sumual dan Kolonel Dahlan Djambek kembali ke Manado.

Agustus 1957

John M. Allison, Duta Besar Amerika di Jakarta dalam bulan ini, mengingatkan dalam satu laporan rahasia bahwa pergolakan di Indonesia bukan soal anti komunis lawan komunis semata². Pembangkangan oleh pemimpin² di daerah² disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah Pusat dan adanya perasaan masyarakat di Pulau Jawa yang merasa diri mereka lebih (superior) dibanding penduduk di daerah² lainnya.

16Agustus 57

Pidato radio Letkol H.N. Ventje Sumual dalam rangka menyambut Hari Proklamasi 17 Agustus 1957 membuat pihak umum di Jakarta mengetahui sikapnya. Dalam pidato tersebut Sumual menyerukan mutlaknya diusahakan adanya situasi tenang, baik di ibukota negara maupun di daerah², sebagai prasyarat berlangsungnya Musyawarah Nasional bulan September yang akan datang.

Ia juga menganjurkan agar penyelenggaraan Munas itu diselenggarakan kepada phak² yang dapat diandalkan, termasuk pihak Angkatan Darat.

Selain itu, Sumual juga menjelaskan beberapa masalah mendasar yang menyangkut fungsi dan tugas pemerintah, serta peran Permesta. Menurut pendapatnya, "Kemakmuran rakyat adalah wewenang tertinggi suatu negara."

Dalam hal ini, Permesta telah meberi contoh nyata, seperti tampak dalam usaha² pembangunan serta swadaya masyarakat yang dibangkitkannya. Ia juga menilai, pembentukan Permesta serta tindakan²nya didasarkan pada prinsip yang luas, yaitu 'legal idealisme'.

17 Agustus 57

Perayaan hari Proklamasi 1957 di Sulut tidak kurang meriah daripada tahun² sebelumnya.

Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan Sario (Manado), dihadiri ±40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di Gubernuran. Gubernur H.D. Manoppo, Panglima Letkol Ventje Sumual dan Mayor D.J. Somba memberi sambutan yang meyakinkan.

Pameran alat² pembangunan seperti truk², tippers, alat² besar untuk pembuatan jalan seperti stoomwals-buldozer-grader, dll.

Pawai Pembangunan Permesta 1957


Hari ini, 6.228 bekas pemberontak TKR dan TRI di Sulawesi Selatan/Tenggara secara resmi diterima ke dalam TNI, yang membuat kekuatan dibawah komando KDM-SST hampir dua kali lipat. Untuk memberi latihan pada pasukan ini, dan kursus "penataran" untuk eks-batalyon CTN (Coprs Tjadangan Nasional, yang dulunya juga pasukan gerilya), Pendidikan Pendahuluan Ulangan Perwira dibuka di Malino di sebelah selatan Makassar, pada tanggal 28 Oktober 1957.

Setelah pertempuran hebat di Kota Makassar pada bulan Desember 1957 antara Batalyon 718 dari RI-Hasanuddin dan Batalyon 513 dari Divisi brawijaya, diputuskan untuk menarik kesembilan batalyon Brawijaya yang masih tinggal di Sulawesi Selatan. Sebelum bulan Juli 1958, semua batalyon itu telah ditarik. KDM-SST sekarang tersusun dari satuan² yang terdiri hampir seluruhnya dari anak daerah. Pada tanggal 22 Januari 1958, satuan² ini dibagi lagi antara komando Kota Makassar (KMKB), RI-Hasanuddin, dan RI-23.

31 Agustus ‘57

Negara Malaya (Malaysia) menyatakan kemerdekaannya dari Inggris. Pemerintah Malaya yang telah merdeka secara resmi tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, tetapi tidak dapat menghalangi hubungan pribadi antara beberapa tokoh dari daerah bergolak dengan, golongan² tertentu di Malaya.

3 September 57

Trauma akibat jatuhnya Cina ke tangan Komunis begitu pahit bagi Amerika Serikat sehingga hari ini Tim Antar-Departemen Tentang Masalah Indonesia dibentuk oleh State Departement & CIA (c.q. Kepala Desk Indonesia-Malaysia CIA, J.B. Smith) tanpa mengikutsertakan Duta Besar AS di Jakarta, John M. Allison.

8 September 57

Pertemuan tiga Panglima daerah bergolak di Palembang (Letkol Barlian, Letkol Achmad Husein, Letkol Ventje Sumual) bersama staf sekitar 30 orang dan hasil perundingan tersebut dirumuskan dalam Piagam Pelembang yang ditandatangani oleh semua yang hadir (namun naskah yang disebarluaskan ternyata hanya mencantumkan nama² Letkol A. Husein, Letkol Barlian, Letkol H.N.V. Sumual).

Piagam Palembang yang intinya berisi:

(1) Rukunnya/pulihnya kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta,

(2) penggantian kepemimpinan Angkatan Darat,

(3) pembentukan Senat,

(4) otonomi daerah (desentralisasi),

(5) pelarangan terhadap komunisme.

Kelima masalah ini merupakan intisari rencana (tuntutan) dari Dewan Banteng, Dewan Garuda, pemikiran Kolonel Maludin Simbolon dan Permesta.

10-14 September 57

Musyawarah Nasional

Munas (Musyawarah Nasional) diadakan di Gedung Proklamasi, Jl.Proklamasi No.56 Jakarta yang dipimpin Presiden Soekarno.

Delegasi dari Sulawesi Utara adalah Komandan KDM-SUT Mayor D.J. SOMBA, Letkol H.N. Ventje SUMUAL (penasihat delegasi), Gubernur H.D. Manoppo (secara resmi, ia adalah Residen-koordinator Sulawesi Tengah), W.J. Ratulangie (Residen-koordinator Sulawesi Utara), Sabu, Sam Kesaulya, Bija (M. Biga?), A.C.J. (Abe) Mantiri.

Delegasi dari Sulawesi Selatan adalah Gubernur/Gubernur Militer SST Kol.Tituler Andi Pangerang, Letkol M. Saleh Lahede (penasihat delegasi), Mayor Andi Muhammad Jusuf (Kastaf KMDSST), Henk Rondonuwu (Ketua Komite Eksekutif Dewan Pimpinan Permesta), Andi Burhanuddin (Residen Makassar), Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi (Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Permesta).


Munas ini membicarakan 3 masalah:

(1) Pemulihan kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta,

(2) Pelaksanaan pembangunan Nasional,

(3) Perubahan pimpinan Angkatan Darat.

Sedangkan masalah "larangan terhadap komunisme" tidak diangkat untuk dibicarakan dalam Munas ini.

Pada hari pertama tidak kurang dari 19 orang yang mengajukan saran²nya, yaitu para Panglima/Penguasa Militer serta Komandan KDM. dan para gubernur. Diantaranya adalah Komadan KDM Maluku/Irian Barat Letkol Herman Pieters, Gubernur Nusa Tenggara T.M. Daudsjah, Gubernur Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara Kolonel Tituler Andi Pangerang, Panglima TT-II Letkol Barlian, Komandan KDM Sulawesi Utara Mayor D.J. Somba.

Banyak diantara para perwira, yang bersangkutan dengan masalah Angkatan Darat justru tidak diundang. Letkol Ventje Sumual pun angkat bicara dan mempersoalkan perlunya Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon dan Kolonel Sukanda Bratamanggala, diundang dalam musyawarah yang bertekad menyelesaikan semua persoalan bangsa dan negara.

Hasil keputusan Munas ini adalah:

(a) masalah Dwitunggal, setuju untuk dipulihkan kembali

(b) pembangunan, segera akan diadakan Munap

(c) masalah AD ditangani oleh Panitia-7 (Ir.Soekarno, bekas Wapres Drs. Moh.Hatta, Waperdam III Dr.J. Leimena, bekas Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Kol.Dr. Azis Saleh, KSAD Mayjen A.H. Nasution)


Presiden Soekarno dgn Ventje Sumual dan D.J.Somba dlm Munas

Beberapa catatan tambahan:

Pada waktu Munas dilaksanakan, KSAD Mayjen Nasution mengadakan rapat dengan para pemimpin TNI dari daerah bergolak. Dalam rapat tersebut terjadi suatu perdebatan tajam antara KSAD Mayjen Nasution dengan Panglima Kolonel Ventje Sumual. KSAD tetap berpegang pada legalitas dan disiplin militer tanpa menghiraukan kenyataan yang memaksa TT-VII menyimpang dari disiplin.

Dalam rapat itu KSAD Nasution sudah menyatakan niatnya untuk menggeser Ventje Sumual dari kursi panglima TT-VII dan mengirimnya ke Filipina untuk menjadi Atase Militer KBRI di sana. Suatu saat Ventje Sumual sudah tidak lagi dapat menguasai emosinya, sehingga dia memukul meja di depan Nasution. Dalam keadaan marah² dia langsung meninggalkan rapat, disertai Kastaf Gubmil Sulut Mayor Dolf Runturambi, dan menuju ke tempat penginapan di Hotel des Indes. Setibanya di sana, Mayor Rumturambi langsung memberi perintah kepada para pengawal yang terdiri dari prajurit² Kawanua Jakarta yang setelah proklamasi Permesta atas kesepakatan mereka sendiri menjaga keamanan rombongan Ventje Sumual selama berada di Jakarta, supaya baku rako, jika ada yang coba² menangkap Bung Ventje.

Banyak prajurit kawanua dalam kesatuan² TNI di Jakarta - RPKAD, KKO dan garnisun - secara bergiliran mengadakan penjagaan siang-malam dengan senjata lengkap. Mereka tidur dan makan di tempat penginapan Ventje Sumual sampai rombongan mereka kembali lagi ke Sulawesi. Mereka sangat loyal kepada Permesta.

17 September 1957

Menteri Kehakiman G.A. MAENGKOM yang memimpin Misi Pemerintah Pusat ke Sulawesi Utara/Minahasa dan menemui tokoh² Permesta untuk penyelesaian secara damai masalah Permesta, hari ini mengadakan rapat umum di Lapangan GMIM Pinaesaan Langowan guna menjelaskan maksud misi pemerintah pusat ini. Turut berbicara dalam rapat itu yaitu Panglima TT-VII Wirabuana Letkol H.N.Ventje SUMUAL.


Rapat raksasa penyelesaian konflik di lapangan Langowan
dengan pidato dari Letkol Sumual dan Menteri Kehakiman GA Maengkom



21-22 September 1957

Setelah Munas, kolonel² Sumatera bertemu kembali di Palembang, dan menyusun suatu lampiran bagi Piagam Palembang yang berjudul "Gagasan Dasar, Prinsip², dan Program Bersama Perjuangan Daerah," yang oleh Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian dibawa ke Makassar untuk ditandatangani Letkol Ventje Sumual; mereka datang dengan alasan akan menghadiri PON.

Dokumen ini, sebagaimana halnya dengan Piagam Palembang sendiri, tidak diumumkan pada waktu itu. Letkol Ahmad Husein juga mengunjungi markas Resimen Infanteri Hasanuddin (RI-Hasanuddin) dan pusat latihan militer di Malino; ia disertai Mayor Andi M. Jusuf pada kunjungan kepada Raja Gowa, yang juga adalah seorang pendukung cita² Permesta.

23 September 1957

Universitas Permesta didirikan di Manado, yang merupakan salah satu proyek yang penting Permesta. Pada mulanya, digunakan sebuah bangunan di Kawasan Sario.

Rektor pertamanya, Mayor Dolf Runturambi, yang memegang jabatan Kepala Staf Gubernur Militer Sulawesi Utara Tengah.

Universitas Permesta ini akhirnya digabungkan dengan Universitas Pinaesaan menjadi Universitas Sulawesi Utara (UNISUT, kemudian menjadi UNSRAT) tanggal 17 September 1961.

Juga PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Tondano yang didirikan Prof. Mr. GMA Inkiriwang, SH dan Nona Politon pada tahun 1955, mendapat perhatian istimewa. Gedung² baru serta perpustakaan dibangun di sini. Para mahasiswa pun mendapat tunjangan pendidikan yang memuaskan.

27 September 1957

Pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV di Makassar dilakukan oleh Presiden Soekarno. Kemudian Presiden Soekarno berangkat ke Sulawesi Utara untuk mengadakan kunjungan selama dua hari.

28 September 1957

Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah (KDM-SUT) dibentuk secara resmi oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution menggantikan komando Resimen Infanteri 24 (RI-24), dengan Mayor Daniel Julius (Yus) Somba sebagai komandannya dengan kenaikan pangkat secara otomatis menjadi Letnan Kolonel (Overste). Diantara yang hadir dalam upacara ini hadir juga Letkol Ventje Sumual dan Gubernur Sulawesi Utara Permesta H.D. Manoppo.

Dalam pidatonya Mayor D.J. Somba memberikan gambaran, ia dan perwira² lain tidak akan dapat menyelesaikan konflik kesetiaan yang ada pada bulan² mendatang: "Ideologi TNI, ialah mempertahankan negara, dan bagi Sulawesi Utara ideologi tentara harus disesuaikan dengan keinginan dan hasrat rakyat."

Pada bulan November 1957 KDMSUT mengumumkan rencana melaksanakan suatu reorganisasi atas satuan² militer yang berada dibawah wewenangnya. Batalyon 714 akan dipecah menjadi dua batalyon, masing² dengan tanda pengenal "P" dan "S", dan seterusnya dua batalyon, "Q" dan "R", akan dibentuk dari kedua kompi dari Batalyon 719 dibawah Mayor Lukas J. Palar dan kompi yang satu dibawah Kapten Frans Karangan di Sulawesi Tengah, dan masing² perwira akan menjadi komandan masing² batalyon yang baru terbentuk itu.

29 September 1957

Presiden Soekarno tiba di Sulawesi Utara untuk mengadakan kunjungan selama dua hari. Ia menginap di pinggiran kota Manado, di daerah Kairagi, atas saran pengawalnya karena situasi saat itu tidak kondusif.

30 September 1957

Presiden Soekarno berkunjung ke Minahasa

selama beberapa hari didampingi oleh tokoh nasional Ruslan Abdulgani dan Duta Besar AS untuk Indonesia John M. Allison serta diterima oleh Gubernur Militer/Panglima KDM-SUT (KDM/Kodam Sulutteng) Overste D.J. Somba dan Gubernur Sulawesi Utara yang diangkat Permesta, H.D. Manoppo. Sebagai Ketua Panitia Penyambutannya adalah Mayor Wim Tenges selaku Kepala Seksi Logistik Tim Assistensi Pemerintahan Militer KDM-SUT.

Beliau mengadakan kunjungan resmi di Universitas Permesta di Sario Manado serta mengadakan kuliah umum serta dialog terbuka dengan para mahasiswanya. Di Universitas Permesta ini, Presiden disambut dengan spanduk yang berbunyi "Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan" (Amsal 1:7a) yang diartikan sebagai sein alus kepada Soekarno akan paham komunis, serta spanduk lainnya yang berbunyi, "maaf Bung Karno, kami tidak menghendaki komunisme."

Presiden kemudian berpidato di Sekolah Tinggi Seminari Katholik di Desa Pineleng dan kemudian berkunjung ke Tomohon dan Tondano dengan mobil jeep terbuka, dan berkacamata hitam serta menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja SION Tomohon dan berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat dalam Injil Yohanes pasal 1 ayat 1: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama² dengan Allah dan Firman itulah adalah Allah."

Dalam amanat itu ada ucapan Bung Karno yang menjadi sangat terkenal mulai waktu itu tentang falsafah tudingan. Ia mengingatkan agar setiap orang harus sadar jika hendak menuding kesalahan orang lain. Sebab pada saat jari telunjuk kita menuding orang lain, pada saat itu pula katanya, tiga jari kita menuding diri kita sendiri.

Jamuan makan HUT GMIM tersebut dilaksanakan di Kantor Sinode GMIM dan dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat dan Letkol D.J. Somba yang masih mengenakan badge TT-VII/Wirabuana.

Kemudian Presiden Soekarno kembali ke Jakarta via Gorontalo dan Palu, didampingi Kastaf KDM-SUT Mayor Dolf Runturambi. Di Gorontalo, ia menginap satu malam, kemudian meneruskan perjalanan ke Makassar menghadiri (penutupan) PON-IV yang sedang berlangsung di Makassar. Mayor Dolf Runturambi juga ikut selaku Ketua Rombongan olahragawan se-Sulutteng.
Situasi dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta, sehingga peristiwa ini mendapatkan keuntungan tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta, menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah² saja oleh pemerintah pusat.


Presiden RI Soekarno dlm acara peringatan HUT GMIM di Tomohon

1 Oktober 1957

Rencana rahasia RRC di Peking (Beijing) untuk menguasai seluruh kepulauan di Pasifik dan Asia Tenggara sampai Pakistan hingga tahun 1968.

5 Oktober 1957

Kelompok yang tergabung dalam pendeklarasian Piagam Palembang mengadakan rapat evaluasi Munas hari ini. Pertemuan yang diselenggarakan hari ini dihadiri oleh para perwira di Sumatra yaitu Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian. Letkol Ventje Sumual berada di Manado sehingga tidak bisa mengikuti pertemuan. Tetapi, kemudian Letkol Ahmad Husein pergi ke Makassar dan bertemu dengan Letkol Ventje Sumual yang juga sengaja datang ke tempat itu. Di sinilah naskah "Dasar², Program Bersama dari Perdjuangan Daerah (Realisasi Piagam Persetudjuan Palembang)" ditandatangani oleh Letkol Ventje Sumual. Karenanya, tempat penandatanganan itu hanya disebut Kota Perjuangan. Keputusan 5 Oktober ini merupakan pedoman dasar bagi daerah² bergolak. Pokok²nya disampaikan juga kepada Panitia Tujuh.

22-25 Oktober 1957

Letkol Ventje Sumual dimasukkan dalam suatu rapat kerja KADIT (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) yang diadakan di Bali. Tetapi pada tanggal 26 Oktober diumumkan, ia akan ditempatkan di MBAD di Jakarta, dan kedudukannya akan ditentukan Panitia Tujuh. Letkol Saleh Lahede, walaupun tidak mempunyai kedudukan resmi semenjak KoDPSST dibubarkan, tidak menerima tawaran mengikuti SSKAD (sekarang SESKOAD) di Bandung.

11 November 1957

Letkol Ventje Sumual menggabungkan organisasi² pemuda Permesta menjadi Dewan Tertinggi Pemuda Permesta yang berkedudukan di Makassar.

25 November 1957

Musyawarah Nasional Pembangunan

Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) dilaksanakan di Jakarta. Tujuannya terutama adalah membahas dan merumuskan usaha² pembangunan sesuai dengan keinginan daerah².

Letkol H.N. Ventje SUMUAL mengikuti MUNAP (Musyawarah Nasional Pembangunan) di Jakarta yang dipimpin Presiden Soekarno ini. Ia dan beberapa perwira daerah bergolak sempat ditangkap sebelum mengikuti MUNAP akibat Peristiwa Cikini yang terjadi tanggal 30 November (yang menuduh pihak Daerah Bergolak sebagai dalangnya) namun segera dibebaskan. Kemudian Letkol Ventje Sumual melaporkan esensi Proklamasi Permesta 2 Maret 1957. MUNAP ini tidak dihadiri oleh Letkol Achmad HUSEIN dari KDM Sumatera Tengah yang memimpin pemerintah sendiri di Sumatera Barat dengan Dewan Bantengnya. MUNAP ini berakhir tanggal 4 Desember tahun itu.

30 November 1957

Terjadinya Tragedi Nasional: Peristiwa Cikini.

Aksi spontanitas penggranatan sebagai percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini yang dituduhkan oleh orang² tertentu (terutama PKI) untuk mendiskreditkan dan memfitnah Daerah² Bergolak sebagai dalangnya.

Beberapa tokoh politik dan militer di Ibukota mulai menyingkir ke daerah² yang dianggap aman dari fitnahan dan aksi kekerasan (dari golongan komunis) akibat dari Tragedi Cikini ini. Mereka antara lain Mr. Sjarifuddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, dan lain².

Letkol Ventje Sumual dan beberapa perwira yang sedang mengikuti Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) sempat ditahan namun segera dibebaskan dan diijinkan untuk mengikuti lanjutan Munap tersebut.

Desember 1957

Komando Daerah Militer (KDM) XIII/Merdeka - Sulawesi Utara/Tengah dibentuk, terlepas dari jajaran TT-VII/Wirabuana yang dibubarkan KSAD TNI.

Pembubaran TT VII/Wirabuana dan pembentukan empat KDM yang terpisah di Indonesia Timur, merupakan pukulan berat bagi Permesta. Hal ini menyebabkan perkembangan kegiatan Permesta di berbagai daerah, kecuali Sulawesi Utara, mengalami kemunduran. Para Panglima KDM yang sebelumnya menyetujui gagasan Permesta, telah mengubah haluan, kecuali Letkol D.J. Somba dan Letkol Minggu

"Operasi Intelijen" Sukendro untuk memecah belah para perwira pro Permesta ternyata berhasil; selain itu, para Panglima KDM juga otomatis mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.

Desember 1957

Barnabas Banggur, seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Makassar (kemudian menjadi Pengacara di Jakarta) - kembali ke kampung halamannya, Flores, untuk mengkoordinasikan para pemuda setempat.

Dengan dana yang disediakan Permesta, mereka berhasil membangun sebuah gedung Pemuda Permesta yang digunakan pertama kalinya untuk menyelenggarakan suatu Kongres Pemuda setempat pada Desember 1957. Gedung ini berdiri dengan megah di pinggir pantai Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende (Flores Tengah), dan digunakan sebagai gedung pemerintahan daerah. Juga dibangun dermaga di Larantuka yang digunakan pihak Misi Katolik untuk menyimpan/ menyandarkan kapal² motor mereka. Untuk pembangunan Flores bagian Barat yang dikenal sebagai Daerah Swapraja dengan ibu kota Ruteng, Permesta menyumbangkan beberapa ribu sak semen untuk membantu pembangunan rumah pegawai, pegawai negeri, guru² yang berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di Kota Ruteng.

Penyerahan ribuan sak semen itu disaksikan Penguasa Militer setempat (Flores) Fredy Lumanauw, Kepala Pemerintahan Swapraja Manggarai (KPS), P. Salasa dan Barnabas Banggur yang saat itu masih mahasiswa.

Permesta mempersiapkan pula pembentukan provinsi Nusa Tenggara Timur dengan singkatan NTT. Pembentukannya direalisasikan Pemerintah Pusat, Desember 1958, dengan gubernur pertamanya adalah W.J. Lalamentik, dan pemekaran kabupaten menjadi 12 buah.

Bersamaan dengan persiapan pembentukan Provinsi NTT, Permesta juga mempersiapkan pemekaran pembentukan daerah tingkat II/Kabupaten, antara lain, Daerah Flores yang sebelumnya hanya satu Kabupaten, direncanakan dan direalisasikan menjadi 5 Kabupaten, yaitu:

1. Kabupaten Manggarai dengan Ibu kota Ruteng

2. Kabupaten Ngada dengan Ibu kota Bajawa

3. Kabupaten Ende-Lio dengan Ibu kota Ende

4. Kabupaten Sika dengan Ibu kota Maumere

5. Kabupaten Flores Timur dengan Ibu kota Larantuka


Realisasi pemekaran provinsi Sunda Kecil (Nusatenggara) baru dilakukan tahun 1958 oleh pemerintah pusat, dengan membaginya menjadi Daerah Swantara Tingkat Pertama: Bali, Nusatenggara Barat (NTB), dan Nusatenggara Timur (NTT).

7 Desember 57

Hari ini terbentuk pula Persatuan Wanita Permesta Wirabuana dengan Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses sebagai ketua. Anggota pengurus lainnya, antara lain, Ny. E.Sigar, Ny. Fachruddin, Ny. Sam Kesaulya, Ny. Saleh Lahade, dengan Ny. Andi Burhanuddin, Ny. R. Warouw, dan Ny. Depu sebagai penasihat.


Pada hari ini juga, di daerah Poso - Sulawesi Utara (Tengah), dua peleton TNI dengan senjata lengkap masuk hutan menentang kelompok Permesta (Lukas J. Palar?). Tindakan ini diikuti pula oleh sejumlah anggota kepolisian, pimpinan pemerintahan sipil serta lebih kurang 2000 orang rakyat daerah tersebut. Tindakan ini juga karena tuntutan mereka agar supaya daerah Sulawesi Tengah dijadikan Daerah Swantara Tingkat Pertama (provinsi) tidak dikabulkan Permesta.

9 Desember 57

Hari ini diadakan percobaan terakhir untuk menghidupkan kembali organisasi² Permesta di Makassar, yaitu ketika Letkol Ventje Sumual meresmikan Dewan Tertinggi Permesta dan Dewan Tertinggi Pemuda Permesta. Dektrit tersebut adalah "Dektrit Permesta Se-Wirabuana" No.001/Dok/10/1957, Makassar. Letkol Ventje Sumual sendiri mengepalai Dewan Tertinggi Permesta, Letkol Saleh Lahede sebagai wakilnya, dan Kapten Bing Latumahina sebagai sekretaris. Setiap dewan mempunyai tujuh belas anggota, mereka ini kebanyakan - jika tidak semua - adalah penduduk Makassar.

16 Desember57

Panitia Sembilan yang dibentuk Munas untuk memulihkan kembali kerja sama antara Soekarno dan Drs. Moh. Hatta mengumumkan pada hari ini, bahwa ia gagal melakukan tugasnya karena Moh. Hatta "bersedia ikut mengambil bagian dalam pemerintahan hanya jika selain memikul tanggung jawab moral harus pula memperoleh wewenang."

17 Desember57

Keadaan darurat perang oleh Presiden ditingkatkan menjadi "KEADAAN BAHAYA PERANG" sehingga APRI (TNI) lebih leluasa mengambil tindakan² tegas.

25 Desember57

Kolonel Ventje Sumual meninggalkan markasnya di Kinilow beberapa hari sebelum Hari Natal tiba, dan tanggal 9 sampai 13 Januari 1958 berada di Sungaidareh, Sumatera Barat.

31 Desember57

Gubernur Sulut Permesta, H.D. Manoppo, mengumumkan berakhirnya pengawasan keuangan dan pemerintahan yang selama ini dilakukan Makassar atas Utara (pemerintah pusat masih tetap mengakui Makassar sebagai ibu kota provinsi seluruh Sulawesi).

1 Januari 1958

Pimpinan Pemerintah di Manado menyatakan bahwa di provinsi SUT (Sulawesi Utara) telah dibentuk jawatan² tingkat provinsi mendahului sesuatu putusan dari Pemerintah Pusat di Jakarta.

Pemerintahan Sulawesi Utara tersebut dipimpin oleh Gubernur H.D. Manoppo, bekas Residen-koordinator Sulawesi Tengah.


Pangkat Letnan Kolonel (Overste) resmi disandang oleh Daniel J. Somba selaku Komandan KDM-SUT terhitung mulai hari ini, meski belum ada upacara pelantikannya. Selain itu, Mayor Andi M. Jusuf (komandan RI Hasanuddin), dan A. Rifai (komandan RI-23) juga mendapatkan kenaikan pangkat Letnan Kolonel.

6 Januari 1958

Presiden Soekarno meninggalkan tanah air guna memulai perjalanan kunjungan kenegaraan ke berbagai negara seperti Jepang, India, dan negara Asia lainnya.


KSAD Mayjen A.H. Nasution memberikan ceramah di Magelang mengharapkan sebuah dual role untuk militer: baik untuk kekuatan militer (pertahanan negara) dan organisasi untuk pengembangan sosial kemasyarakatan (pertahanan kemasyarakatan). Permulaan dari doktrin "Dwifungsi TNI" (Dwifungsi ABRI).

7 Januari 1958

Dalam harian Pedoman terbitan hari ini, Henk Rondonuwu sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pertimbangan Pusat Permesta memberikan reaksi terhadap wacana bentuk negara federasi yang muncul dalam berita² pers Amerika Serikat "jang menggambarkan seakan² daerah² di luar Djawa sedang bergerak menudju negara federal".

"Djikalau jang dimaksud bahwa djuga gerakan daerah jang hidup dalam rangka `Permesta' selaku satu usaha ke arah negara federal maka tafsiran jang demikian adalah keliru. Patokan serta dasar perdjuangan 'Permesta' tetap berlandaskan pada negara Republik Indonesia jang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam ruang gerak dari 'Permesta' adalah di dalam djiwa ini, tidak berkisar".


Hari ini, Gubernur Sulawesi Utara H.D. Manoppo mengumumkan pembentukan jawatan² vertikal pemerintah yang terpisah dari jawatan serupa di Makassar.


Suatu konferensi keamanan yang dihadiri perwira senior dari Jawa dan Indonesia Timur diadakan dari tanggal 7 sampai 9 Januari di Tretes, Jawa Timur. Dari KDM-SST hadir Letkol Andi Mattalatta, Mayor Her Tasning, dan Letkol M. Jusuf; KDM-SUT diwakili Mayor Eddy Gagola, Mayor Wim Joseph, dan Mayor Wim Tenges. Selain itu, PAnglima TT-IV/Diponegoro, Kolonel Soeharto dalam rapat itu duduk bersebelahan dengan Mayor Wim Tenges. Dikatakan bahwa Letkol D.J. Somba sakit dan tidak hadir. Mayjen A.H. Nasution mempertanyakan kepada delegasi Sulawesi Utara mengenai ketidakhadiran Letkol D.J.Somba, dan meminta keterangan dimana Letkol Ventje Sumual berada (walaupun ada berita² pers yang mengatakan, ia berada di Sumatera).

8 Januari 1958

Perdana Menteri Ir. Djuanda memerintahkan ADRI, ALRI, AURI dan Jawatan Pabean untuk menghentikan semua perdagangan barter. Daerah² yang tidak memenuhi larangan perdangangan barter tersebut diancam akan diblokir.

9-13 Januari 58

Letkol Ventje Sumual meninggalkan markasnya di Kinilow sesaat sebelum Natal 1957, dan menghadiri pertemuan di Sungai Dareh - Sumatera Barat yang dihadiri oleh para tokoh TNI di daerah seperti Letkol Achmad Husein, Letkol Ventje Sumual sendiri, Kol. M. Simbolon, Kol. Dachlan Djambek, Kol. Zulkifli Lubis, serta tokoh² sipil (yang menyingkir akibat tekanan golongan komunis) seperti Moh. Natzir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo.

Saat itu Dewan Perjuangan (dewan yang menghadapi konflik intern TNI pusat-daerah) yang semula hanya terdiri atas Ahmad Husein, Sumual, Simbolon dan Barlian, disempurnakan dengan memasukkan tokoh² politik sehingga susunan keanggotaannya menjadi sbb:

  Ketua:   Achmad Husein
  Sekjen:  Dahlan Djambe
  Anggota: H.N.V. Sumual, 
           M. Simbolon, 
           Zulkifli Lubis, 
           Sjoeib, 
           Anwar Umar, 
           Mohammad Natsir, 
           Sjafruddin Prawiranegara, 
           Burhanuddin Harahap, 
           Sumitro Djojohadikusumo, 
           W.P. Nainggolan, 
           Nawawi, 
           S.P. Hutabarat, 
           A.N. Nusjirwan,
Amelz.
 

Kolonel Sumual mengatakan dalam rapat itu, bahwa menurt perkiraannya pemerintah pusat akan menjawab tuntutan mereka dengan kekerasan, tetapi dalam rapat itu mereka hanya memiliki rencana saja, tidak memiliki senjata yang dapat mereka gunakan menghadapi serangan pihak Jakarta.

Setelah pertemuan di Sungai Dareh, Letkol Ahmad Husein dan Letkol Ventje Sumual ditugaskan mengupayakan pembelian senjata di luar negeri. Selain itu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo juga ikut dalam rombongan ini dan kemudian meneruskan perjuangan di luar negeri. Letkol Ventje Sumual ditemani Kapten Arie W. Supit dan Letnan Tema, sedangkan Jan M.J. Pantouw meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat. Tetapi Letkol Ahmad Husein hanya sampai di Singapura. Sebagai Ketua Dewan Perjuangan, kehadirannya di Padang sangat diperlukan.

Menurut Ventje Sumual, di Singapura ia menemui sejumlah orang yang bersedia menjual senjata kepadanya (dari Amerika Serikat, Taiwan, dan Italia), tetapi tidak berhasil memperoleh izin ekspor bagi penjualan perorangan. Kemudian ia pergi ke Hongkong menemui Kolonel Joop Warouw. Ventje Sumual menghubungi Joop Warouw di posnya sebagai Atase Militer pada Kedutaan Besar Indonesia di Peking (Beijing).Mereka berdua lalu berangkat bersama ke Tokyo. Di sana, Joop Warouw menemui Presiden Soekarno tanggal 5 Februari.

11 Januari 1958

Pemerintah pusat mengeluarkan suatu pengumuman yang menyatakan tidak sah "semua peraturan dan keputusan baik yang diambil pejabat militer ataupun sipil di daerah dalam bidang perdagangan luar negeri yang menyimpang dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah." Daerah² yang membangkang diperingatkan, jika mereka tidak menaati ketentuan ini, pemerintah akan mempertimbangkan penghentian subsidi kepada mereka.

Keputusan pemerintah ini pertama kali ditentang di Sulawesi Utara. Kepala² berita di surat² kabar menyatakan "Permesta dan Barter djalan terus!".

Dalam suatu konperensi dengan para perwira Sulawesi pada bulan Januari ini Mayjen A.H. Nasution menunjukkan bahwa ia mempunyai informasi tentang pengapalan senjata dari luar negeri untuk kaum pemberontak. Menurut Mayor Wim Tenges, senjata² yang dikirimkan dari Taiwan sudah rusak, bekas Perang Dunia II, mortir yang sudah tidak menyala, dll; sedangkan senjata² dari Eropa kualitasnya bagus.KSAD Mayjen A.H. Nasution menaksir hilangnya pendapatan pemerintah pusat sebesar $ 40.000.000 per bulannya.

13 Januari 1958

Menteri Dalam Negeri mengatakan, subsidi pemerintah pusat untuk seluruh pulau Sulawesi (provinsi Sulawesi) akan dikirim melalui Makassar. Seorang juru bicara Provinsi Sulawesi Utara mengatakan, soal² uang bukanlah problem "karena kita sekarang bandjir uang."

14 Januari 1958

Pada bulan Januari, frekuensi penerbangan Garuda (GIA) ke Manado dikurangi, dan pada hari ini diumumkan, hubungan Garuda dengan Sulawesi Utara akan dihentikan sama sekali. Seminggu kemudian diumumkan, penerbangan ke Manado akan dibuka kembali sekali seminggu, tetapi akan lewat Banjarmasin di Kalimantan dan bukannya Makassar.

17 Januari 1958

Dalam pengiriman kawat (cable tersebut juga diterima S.S. 'Artemis') kepada Letkol D.J. Somba di Sulawesi Utara, sehabis pertemuan di Sungai Dareh dan memberitahukan garis² besar keputusan yang diambil dan keanggotaan pemerintah revolusioner yang diusulkan. Walaupun kawat itu mengingatkan agar hati² terhadap "provokasi Jakarta", ia juga memerintahkan agar Mayor Dee Gerungan, dengan dibantu para perwira staf lainnya, "membuat rentjana atau studie untuk perebutan Kota Djakarta setjara physiek termasuk segala djumlah kebutuhan materiaal, operatie planning akan dilaksanakan oleh tiga daerah bergolak..."

22 Januari 1958

KDM-SST (Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan-Tenggara) hari ini dibagi lagi antara Komando Militer Kota Besar (KMKB), Resimen Infateri Hasanuddin (RI-Hasanuddin), Resimen Infanteri 23 (RI-23). Dengan pembentukan KDM-SST dan permulaan penarikan pasukan Jawa dari Sulawesi Selatan, Mayor M. Jusuf telah berhasil dengan salah satu tujuannya. Ia menjelaskan kepuasannya akan persetujuan yang dicapai dengan KSAD A.H. Nasution pada pertemuan 4 Juni 1957 lalu oleh perwira² yang pertama kali merencanakan Permesta. Sejak saat itu, Mayor M. Jusuf jelas merupakan pimpinan kelompok yang anti- Permesta. Ia dengan teguh didukung kepala staf KDM-SST, Mayor Her Tasning. Letkol M. Saleh Lahede, perwira senior asal Sulawesi Selatan yang dianggap paling dekat dengan Permesta jelas menjadi pimpinan kekuatan yang pro-Permesta di Makassar. Perwira² lainnya, termasuk Letkol Andi Mattalatta, Panglima KDM-SST sikapnya kurang jelas.

1 Februari 1958

Letkol D.J. Somba bertemu Mayjen A.H. Nasution di Jakarta. Dalam pertemuan ini, Letkol Yus Somba meminta agar tuntutan politik dan ekonomi Piagam Permesta dipenuhi secepat²nya mengingat ketegangan yang semakin memuncak di dalam negeri. Mayjen A.H. Nasution menjawab, itu adalah urusan yang harus ditangani DPR. Mayjen Nasution kembali meminta daftar senjata yang diimpor; namun Letkol Somba menjawab bahwa tidak ada senjata yang dimasukkan. Memang Letkol Somba telah menyetujui penghentian perdagangan barter di Sulawesi Utara. Letkol Somba kemudian kembali ke Manado pada tanggal 6 Februari.

4 Februari 1958

KADIT, Komando Antardaerah Indonesia bagian Timur akhirnya menjadi KOANDA-IT, yang telah ditetapkan tanggal 20 Agustus 1957, akhirnya memiliki komandan/panglimanya, dengan dilantiknya Brigjen Gatot Subroto sebagai panglima KOANDAIT. Letkol Jonosewojo, bekas Kepala Staf TT-VII/ Wirabuana telah menjadi penjabat kepala stafnya sejak KADIT diumumkan.

5 Februari 1958

Letkol Ventje Sumual pada pers di Tokyo menyatakan bahwa dia dan kawan²nya akan berjuang terus melawan kaum komunis dan semua kaki tangan mereka. Di Tokyo juga dia sempat bertemu dan mengadakan pembicaraan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Letkol Sumual juga diberitakan bahwa ia telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles (yang baru usai menghadiri Konferensi SEATO di Manila), di Taipei - Taiwan. Sebelumnya, Letkol Sumual sudah menghubungi Kolonel Joop Warouw di posnya sebagai Atase Militer RI pada KBRI di Peking (Beijing). Ia kemudian bertemu dengan Kolonel Joop Warouw di Hongkong.


Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari ini bertemu dengan Presiden Soekarno di Tokyo yang saat itu sedang mengadakan kunjungan ke luar negeri dengan harapan, krisis yang memuncak akan menjadi reda selama ketidakhadirannya di dalam negeri. Joop Warouw sudah dikenal sejak dahulu sebagai anak-mas Presiden; ia bertindak keres atas namanya sesudah peristiwa 17 Oktober 1952, dan menyertai Presiden dalam perjalanan ke Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina pada tahun 1956. Sebelumnya pada masa Perang Kemerdekaan, ia menyelamatkan nyawa Presiden Soekarno saat sedang mendarat di bandara Surabaya yang hendak ditembak oleh pasukan musuh yang sedang berada di bandara. Saat itu Joop Warouw sedang bertugas di bandara dan mendapat info bahwa pesawat itu ditumpangi Presiden Soekarno, dan meminta pasukan itu untuk tidak menembak.

10 Februari 58

Ultimatum Dewan Perjuangan agar PM Djuanda dan kabinetnya mengundurkan diri disampaikan oleh tokoh² TNI di daerah yang bertemu di Sungai Dareh dengan nama Dewan Perjuangan yang dipimpin Letkol Achmad Husein pada pukul 10:00 mengumumkan keputusan sidang dewan tersebut:

"5 x 24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda; dan Presiden menugaskan Drs. Moh. HATTA dan Sri SULTAN HAMENGKUBUWONO IX untuk membentuk Zakine Kabinet". (zaken kabinet=kabinet para pakar/ahli dibidangnya masing²)

Ultimatum ini disiarkan oleh 37 pemancar dan zender radio di Sumatera Barat. Saat itu rombongan Letkol Ventje Sumual belum kembali dari luar negeri dalam rangka pembelian senjata.

Letkol Ventje Sumual mengirim kawat kepada Letkol D.J. Somba di Minahasa agar menunggu kedatangannya sebelum mengambil keputusan.

11 Februari 58

Kabinet Djuanda menolak tuntutan Piagam Sungaidareh tersebut dan memerintahkan agar KSAD memecat Letkol Achmad Husein dan Kolonel Maludin Simbolon serta membekukan komando KDMSTT (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah), Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek dan menghentikan sama sekali hubungan darat maupun udara dengan Sumatra Tengah seperti yang telah dilakukan di Sulawesi Utara. KDM-SST kemudian ditempatkan langsung dibawah KSAD.

12 Februari 58

Dua hari kemudian, Kota Padang dibom oleh AURI sebagai jawaban atas ultimatum tersebut.

5 Februari 1958

Para pegawai sipil Minahasa pada hari ini mengadakan sumpah setia secara resmi kepada para pemimpin Permesta dalam rangka melaksanakan Piagam Permesta dengan dukungan kepada PRRI.


Seleksi kilat tentara² pelajar CTP (Corps Tentara Peladjar - Permesta) dilaksanakan di beberapa daerah Minahasa. Antara lain di asrama Desa Sumarayar - kompleks kediaman Bupati/KDM Minahasa Laurens F. Saerang (pemimpin Batalyon Manguni, kemudian dijadikan Brigade Manguni) dan memulai latihan kemiliteran dalam Kompi I Batalyon Manguni dengan Kapten Penjata Gustaf Rungkat sebagai Komandan Kompi.

KDM Laurens Saerang dan Staf menjelang Permesta
Ia
kemudian memimpin pasukan Brigade Manguni



Hari ini, kabinet tandingan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) diumumkan di Bukittinggi - Sumatera Tengah pukul 22.30 sebagai jawaban atas ultimatum yang tidak dijawab pemerintah pusat, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri

Susunan Kabinet PRRI adalah:

-Perdana Menteri & Menteri Keuangan: Mr.Sjafruddin Prawiranegara.

- Menteri Luar Negeri : Kolonel Maludin Simbolon

- Menteri Dalam Negeri : Kolonel Dahlan Djambek

-Menteri Pembangunan & Pekerjaan Umum/ Wakil Perdana Menteri : Kolonel J.F Warouw

-Menteri Pertahanan & Menteri Kehakiman: Burhanuddin Harahap
-Menteri Perhubungan/Pelayaran: Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo

- Menteri PP&K & Menteri kesehatan: Mohammad Sjafei

- Menteri Pertanian dan Perburuan: S. Sarumpait

- Menteri Agama: Mochtar Lintang

- Menteri Penerangan: Letkol Mohammad Saleh Lahede

- Menteri Sosial: A. Gani Usman

Angkatan perangnya bernama Angkatan Perang Revolusioner dengan Angkatan Darat Revolusioner (ADREV), Angkatan Udara Revolusioner (AUREV), Angkatan Laut Revolusioner (ALREV). Selain kepolisiannya yang bernama Polisi Revolusioner (Polrev).

Ketika tersebar berita bahwa Letkol Saleh Lahede dan Mochtar Lintang telah dijadikan menteri penerangan dan menteri agama PRRI, pihak Jakarta mendesak agar kedua orang itu menyatakan sikapnya. Dalam situasi itu, M. Saleh Lahede menerima undangan rapat dengan para perwira TNI di Makassar untuk membicarakannya. Dalam rapat itulah diputuskan agar Sulawesi Selatan tidak mengakui PRRI. Masalah ganguan keamanan Kahar Mudzakkhar merupakan prioritas utama di wilayah itu. Sekalipun tidak menerima keputusan ini, Saleh Lahede tidak bisa berbuat banyak.

16 Februari 158

Para perwira dalam lingkungan KDM-SUT mengadakan rapat semalam sebelum rapat raksasa di Lapangan Sario, Manado. Pilihan yang dihadapi anggota TNI di Sulawesi Utara yang diajukan dalam pertemuan itu adalah: (1) memihak rakyat dan mendukung PRRI - tetapi hal ini akan bertentangan dengan disiplin militer; atau (2) setia kepada pemerintah pusat dan berjuang melawan rakyat - kendatipun tuntutan² rakyat itu adil. Letko, D.J. Somba sendiri mengatakan bahwa ia mendapat tekanan untuk mendukung PRRI dan memutuskan hubungan dengan Kabinet Djuanda, tidak saja dari pejabat dan golongan sipil melainkan juga dari para anggota stafnya sendiri, Mayor J.W. Gerungan, Mayor Eddy Gagola, Mayor Mamesah, Mayor Eddy Mongdong. Menurut pengakuannya, ia sekalipun mendukung program Permesta, ia tidak suka memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Letkol Somba kemudian menginstruksikan Mayor Dee Gerungan, Mayor Gagola, Mayor Mongdong dan Mayor Lendy Tumbelaka untuk menyusun pernyataan baginya yang akan disampaikan dalam pertemuan keesokan harinya.

6 Februari 1958

Soekarno yang kembali ke Jakarta dari luar negeri menyatakan "kita harus menghadapi penyelewengan pada 15 Februari 1958 di Padang itu dengan tegas dan dengan segala kekuatan yang ada pada kita."

Pada dasarnya Presiden Soekarno menyokong rencana PM Ir. Djuanda dan KSAD Mayjen A.H. Nasution untuk menggunakan kekerasan senjata. Kabinet Djuanda juga mengeluarkan perintah untuk menangkap Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Soemitro Djojohadikusumo.

Hari ini diadakan rapat kilat di kediaman Mayor Dolf Runturambi di Sario yang dihadiri oleh Letkol D.J.Somba, Mayor Dolf Runturambi, Mayor Dee Gerungan, Mayor Eddy Gagola, guna membicarakan masalah yang sedang dihadapi sekarang ini.

Pembesar² sipil dan militer di Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan dengan nada yang hati² dan mengimbau rakyat agar tenang dan melakukan kewajibannya sebagaimana biasa dan mengikuti tujuan utama perjuangan nasional - menyelamatkan keutuhan negara dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan dasar perjuangan tsb.


Dikutip dari: http://www.geocities.ws/permesta2004/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Novryxc - Pemuda Petra Kinilow | Cacatan IT