17/10/10

Masyarakat Minahasa Kuno

Oleh: Ramly Siwi, USA


Awu dan Taranak

Keluarga batih sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Minahasa di sebut Awu. Istilah itu sebenarnya berarti abu, juga di pakai dalam arti dapur. Sampai sekarang di Minahasa masih banyak di dapati tempat masak terbuat dari kayu atau bambu di isi dengan tanah atau abu.

Dalam hubungan masyarakat, istilah Awu dipakai dalam keluarga batih (rumah tangga) dan di pergunakan banyaknya penduduk di satu kampung. Dalam masyarakat Minahasa kuno sedapatnya seluruh keluarga baik yang sudah menikah atau belum tinggal di satu rumah besar berbentuk bangsal yang di dirikan di atas tiang tiang tinggi. Bangunan di atas tiang tinggi itu erat hubungannya dengan keamanan.

Dalam kunjungan Prof. Reinwardt tahun 1821 ke Tondano dia masih melihat rumah rumah yang tiang tiangnya sekitar dua pelukan orang dewasa. Kemudian laporan Dr. Bleeker pada tahun 1855 menulis bahwa kampung kampung di Minahasa di bangun di atas tiang tiang tinggi dan besar, dan di huni oleh empat keluarga bersama sama.

Menurut ketentuan adat, bila seorang anggota keluarga yang sudah dewasa membentuk rumah tangga baru, maka rumah tangga baru itu mendapat ruangan tersendiri di keluarga pria atau wanita. Ruangan terpisah itu dilengkapi dengan satu tempat masak sendiri, yang berarti yang menempatinya telah berdiri sendiri. Ruangan tempat masak itulah yang di sebut awu. Awu akhirnya di artikan sebagai rumah tangga. Karna itu pulalah orang yang sudah menikah saling menyebut Ka Awu (Ka = teman, kakak).

Anggota Awu terdiri dari ayah, ibu, dan anak anak.

Sebagai kepala dari Awu bertindak si Ama (ayah) dan bila ia meninggal dunia maka si Ina (ibu) yang menggantikannya. Beradanya fungsi kepala di sini dalam tangan sang ayah bukan berarti kekuasaan mutlak pengaturan rumah tangga berada di tangannya. Kepala di sini lebih dititik beratkan pada arti adanya rumah tangga dan kewajiban membela rumah tangga terhadap serangan dari luar. Dalam ketentuan adat untuk pengurusan rumah tangga si Ama dan Ina wajib bermusyawarah untuk mengambil keputusan dan menentukan kebijakan.

Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Menurut kebiasaan, pembangunan bangsal baru harus berdekatan dengan bangsal lama. Hal ini menyangkut pengurusan kepentingan bersama, keamanan, dan masalah lahan pertanian bersama. Kompleks bangsal bangsal ini yang di huni oleh penduduk yang berhubungan kekeluargaan di namakan Taranak. Pimpinan Taranak di pegang oleh Ama dari keluarga cikal bakal yang di sebut Tu'ur. Tugas utama Tu'ur adalah melestarikan ketentuan ketentuan adat, meliputi hubungan antar Awu, mengatur cara cara mengerjakan lahan pertanian yang di miliki bersama, mengatur perkawinan anggota anggota Taranak, hubungan antar Awu dan Taranak sampai dengan mengadili dan menghukum anggota anggota yang bersalah. Tetapi apapun yang dikerjakannya bila hal itu menyangkut keamanan dan prestise Taranak, ia senantiasa minta pendapat dari para anggota Taranak, karena hal itu juga menjadi ketentuan adat.

Berlainan dengan di tingkat Awu yang mana pengurus berada dalam tangan Ama dan Ina bersama sama, pada tingkat Taranak peranan si Ina tidak terlalu menonjol.

Taranak, Roong / Wanua, Walak

Perkawinan perkawinan antara anggota Taranak membentuk Taranak Taranak baru. Bangsal bangsal mulai bertumbuh berkelompok, membentuk kompleks yang semakin luas . Batas penentuan sesuatu Taranak sebagai satu masyarakat hukum mulai menjadi kabur, dan arti Taranak sebagai satu kesatuan menjadi lebih abstrak. Untuk itu sebagai alat identifikasi para penghuni kompleks bangsal, dipakailah kesatuan teritorial. Dengan kata lain fungsi identifikasi mulai bergeser dari bentuk hubungan darah ke bentuk pemukiman.

Akibat proses ini terciptalah kompleks bangsal bangsal dalam satu kesatuan yang di sebut Ro'ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi kompleks bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya yang merupakan milik bersama para penghuni Ro'ong atau Wanua itu. Pemimpin Ro'ong atau Wanua disebut Ukung yang berarti kepala atau pimpinan. Untuk pengurusan wilayah, Ro'ong atau Wanua di bagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar. Pada mulanya Lukar ini dititik beratkan pada keamanan sehingga akhirnya Lukar di ganti menjadi Jaga.

Sampai kini di sebagian tempat di Minahasa masih di pakai kata Lukar dalam arti orang orang yang melakukan keamanan di kampung atau di rumah dari lurah.

Para Ukung juga mempunyai pembantu yang di sebut Meweteng. Tugas mereka mulanya membantu Ukung untuk mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari Ro'ong / Wanua. Pembagian ini sesuai dengan yang sudah disepakati bersama.

Selain itu pula ada pembantu Ukung yang berfungsi sebagai penasihat, terutama dalam hal hal yang sulit dalam masalah adat. Penasihat penasihat seperti ini adalah para tetua yang dihormati dan disegani yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan dapat dijadikan contoh di dalam Wanua, yang di namakan Pa Tu'usan (yang dapat dijadikan contoh).

Ro'ong / Wanua bertambah dari waktu ke waktu menjadi beberapa Wanua tertentu yang akhirnya disebut Walak.

Paesa In Deken

Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.

Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: " Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: " Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.

Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.

Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.

Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:

"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."

Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.

Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.

Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.

Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga ( Pa'eren Telu):

  1. Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
  2. Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
  3. Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .

Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.

Dr. Riedel menulis:

"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah ini, para Paendon Tua, di pilih oleh para Awu. "

Mapalus (tolong menolong)

Dalam Mapalus, prinsip yang sama kelihatan yang mana para wanita memikul cangkul, sekop dll. Ketentuan ini bukan berarti wanita mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan rombongan Mapalus itu, dan mereka di haruskan membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.

Ketentuan organisasi Mapalus ini di jalankan dengan ketat sama dengan ketentuan adat lainnya. Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa tontemboan Kumeter), sesudah teripilih, pemimpin harus di cambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk anggota yang malas dan pelanggar peraturan".

Dan ketentuan ini masih berlangsung sampai sekarang di beberapa daerah di Minahasa.

Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus masih mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena perkembangan masyarakat selanjutnya, dimana milik perorangan telah tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus berubah menjadi tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah dll.


Perhatian:

Terbit di SulutLink. Kiriman Ramly Siwi, USA. Disadur dari sebuah buku tua yang telah kehilangan halaman judul dan penulis untuk dapat dipertanggungjawabkan. Menurut sumber sumber yang terpercaya, isi buku sangatlah konsisten dengan oral tradisi para orang-orang tua dulu yang diteruskan pada anak cucu yang masih hidup sekarang ini. Kalau ada yang mengetahui identitas buku yang termaksud, silahkan kontak redaksi SL: Redaksi Sulutlinkatau Webmaster The Minahasa

Arti Kata Kawanua

(Cerita Taranak dan Walak Minahasa)

Oleh : Jessy Wenas

Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing:

  1. Makarua Siouw
  2. Makatelu Pitu
  3. Telu Pasiowan

Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:

  1. Tountumaratas
  2. Tountewu
  3. Toumbuluk

Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.

Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:

  1. Tounsea and
  2. Toundano.

Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:

  1. Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
  2. Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu

Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;

  1. Tondano Touliang,
  2. Tondano Toulimambot and
  3. Kakas-Remboken

Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.

Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.

Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:


  1. Ro’ong atau negeri,
  2. Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)

Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:

  1. Ro’ong atau negeri
  2. Taranak atau penduduk

Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:

  1. Wale, artinya rumah dan
  2. Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)

Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.

Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.

Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.

Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.

Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.

Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.

Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.

Source: www.kawanuausa.org

(ditampilkan disini sebab yg asli sudah tidak ada)

05/10/10

Maengket Dalam Bahasa Tombulu

Ejaan Bahasa Tombulu

Dalam kamus Bahasa Indonesia ejaan berarti kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Berikut diuraikan kaidah-kaidah tentang ejaan:

Mengenal Huruf

Menurut arti leksikal (kamus) bahwa huruf adalah aksara gambar bunyi bahasa. Dalam bahasa Tombulu terdapat beberapa huruf istimewa. Huruf-huruf itu adalah:

- Huruf g

Mengucapkan huruf g dalam Bahasa Tombulu diucapakan seperti gabungan antara g dan h (gh) yaitu dengan menarik ujung/daun lidah agak kebelakang dan memompakan udara keluar rongga mulut. Untuk bunyi itu kita tetap menuliskannya dengan huruf g. Contoh:

Ditulis Diucapkan
Gau Ghau
Genang Ghenang
Gorou Ghorou
Gogo Ghogho
Zegzeg Zeghzegh
Roga Rogha

- Huruf L

Mengucapkan huruf L dalam Bahasa Tombulu diucapkan seolah-olah L tebal LL (artikulasi alveo-palatal). Bunyi L ini diucapkan dengan ujung lidah sedikit dilipat dan melekat dilangit-langit lalu memompakan udara keluar rongga mulut. Namun bunyi ini tetap saja ditulis L. Contoh:

Ditulis Diucapkan
Li'lo' Llo'llo'
Liklik Llikllik
Lambo' Llambo'
Lalez Llallez
Lempaz Llempas
Lalan Llallan

- Huruf e

Dalam Bahasa Tombulu huruf - (taling) dan e (pepet) perlu dibedakan karena banyak kata-kata yang tulisannya sama namun artinya berbeda. Penulisan huruf dalam Bahasa Tombulu ditandai dengan tanda aksen diatas huruf e (-).

Perhatikan perbedaan e pepet dan - taling pada kata-kata di bawah ini:

Tombulu Indonesia
Seksek tumbuh lamban; usut
s-ks-k baji
Tewel tajam
t-w-l terbang
Pekpek suara yang tiba-tiba mati
p-kp-k tidak merdu
Welwel lekat
w-w-l pukul dengan kayu
Tengteng berputar cepat
t-ngt-ng bunyi lonceng
Tektek patak
t-t-k ukuran luas
Ketket karat
k-tk-t hasut
Teuteu patah semangat
t-t-u iri hati

- Huruf z

Ucapan z dalam Bahasa Tombulu tidak sama dengan ucapan z dalam Bahasa Indonesia. Bunyi z ini diucapkan seperti gabungan antara r dan z, dimana letak lidah ditarik sedikit ke belakang (retroflexed alveo-palatal).

Untuk mengucapkan bunyi ini, beberapa daerah lebih cenderung mengucapkan kearah bunyi r. Masing-masing daerah dapat membaca sesuai dengan dialek setempat. Contoh:

Penutur Tombulu bagian tengah/arat zano rano
Penutur Tombulu bagian timur Te'iz te'ir

- Glotal atau Hamzah

Dalam Bahasa Tombulu bunyi glottal atau hamzah dilambangkan dengan tanda apostrof ('). Dalam Bahasa Indonesia bunyi glottal terjadi pada setiap kota yang berakhir dengan huruf k. Contoh:

  • Tidak akan berbunyi tida'
  • Serempak akan berbunyi serempa'

Berbeda dengan Bahasa Tombulu seperti yang dapat kita lihat pada contoh berikut:

  • Wunak tetap akan berbunyi wunak bukan wuna'
  • Tembak tetap akan berbunyi tembak bukan temba'

Oleh sebab itu dalam Bahasa Tombulu bunyi glotta sangat diperlukan untuk membuktikan perbedaan bunyi k dan glottal ('). Perhatikan perbedaan bunyi glottal berikut.

Tombulu Indonesia
Wa'wa coba
wakwak anggur, sembah
So'so alir
soksok makan seperti hewan
Wu'wu khusus
wukwuk dimakan rayap
Po'po kelapa
pokpok hantu
Se'se rampat tempat
seksek baji
Wo'wo gondok
wokwok lubang
La'la' kerja setengah hati
laklak hangus oleh api
Ta'ta' panggil anjing
taktak patong

Dalam tulisan ini perlu juga dikemukakan tentang kebiasaan berucap (dialek) dari penutur Bahasa Tombulu Tomohon kota termasuk Kelurahan Pangolombian, Rurukan, Kumelembuai dan desa Suluan yang mengucapkan sebagian besar huruf h dengan glottal berbeda dengan penutur Bahasa Tombulu luar Kota Tomohon. Berikut beberapa contoh:

Tomohon luar kota Indonesia Tomohon kota
Mahsawa-sawangan
Saling membantu Ma'sawa-sawangan
Ni sera e kahkano Mereka sedang makan Ni sera e ma'kano
Ni kai e sumuhu' se sakei Kami akan menjamu tamu Ni kai e sumu' se sakei
An tinenem e niahwengan Tanaman diberi tanda larangan An tinanem e nia'wengan

Masuknya agama Kristen di Minahasa

1. Kepercayaan Penduduk Sebelum Masuknya Agama Kristen
Sebelum masuknya agama Kristen di Langowan, penduduk Minahasa sudah menganut suatu kepercayaan atau dengan kata lain sudah beragama.

Untuk mengurus soal keagamaan yang hidup dikalangan penduduk diatur seseorang yang disebut Walian. Pada bagian utara Minahasa (Tombulu, Toulour, Tonsea) yang menjadi Walian kebanyakan adalah laki-laki, sedangkan dibagian selatan termasuk Langowan (Tountemboan) wanitalah yang menjadi Walian.

Dalam agama alifuru mereka percaya akan adanya kekuasaan dalam tangan Khalik, dimana pada masa kedatangan Johann Gottlieb Schwarz di Langowan, ia menyaksikan sendiri cara-cara penduduk Langowan menjalankan upacara keagamaan Alifuru antara lain dengan cara memberi persembahan kepada Tuhan mereka yang mereka sebut Empung atau Amang Kasuruan atau si Andangka (Ope).

2. Pengkristenan Langowan adalah Bagian dari Pengkristenan Minahasa
Berdasarkan hal ini, ternyata usaha-usaha pengkristenan yang dilancarkan oleh Pater-pater dari Portugis maupun dari Spanyol belum sempat menyebarkan agama Kristen di Langowan sampai datangnya Belanda pada permulaan abad ke-18. Sejak kedatangan orang-orang Belanda penyebaran agama dilanjutkan oleh mereka dan yang disebarkan adalah agama Kristen Protestan.

Dalam usaha-usaha penyebaran agama Kristen Protestan inilah maka akhirnya menyentuh ke daerah Langowan. Hal ini ternyata dalam perkembangan selanjutnya agama ini dimulai dari Ambon lalu menyebar ke Minahasa termasuk Langowan. Peristiwa dimulai pada tahun 1605 yaitu dengan tibanya ekspedisi Steven v.d. Hagen di Ambon dimana usaha-usaha penyebaran agama Katolik terhenti karena para Pater sudah menuju ke Philipina.

Pendeta pertama yang mengunjungi Minahasa (Manado) yakni Ds. Montanus pada tahun 1675, dimana dalam laporannya menyatakan bahwa didaerah ini sudah ada golongan orang Kristen (Katolik). Pada masa VOC perkembangan agama Kristen tidaklah serupa terutama pembinaannya, karena pendeta-pendeta yang mengunjungi Minahasa menetap di Ambon.

Dengan sendirinya pelayanan pendeta-pendeta itu diberikan dalam waktu yang singkat dan kemudian ditinggalkan dalam waktu yang lama. Baptisan yang dilakukan oleh pendeta-pendeta ini dilakukan dalam jumlah yang banyak (massal) tanpa adanya pengajaran yang baik.

Penyebaran agama Kristen di Langowan nanti terjadi pada waktu terbentuknya perkumpulan Pengutusan Injil di Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1797 oleh London Missionary Society dan atas anjuran Dr. J. Th. van der Kemp didirikanlah badan penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang juga mendirikan sekolah untuk mendidik pendeta-pendeta yang berlokasi di Eterdam, Belanda.

Penginjilan pertama-tama dari NZG yang mengunjungi Minahasa ialah J. Kamp yang datang dari Ambon, yang terkenal dengan julukan "Rasul Maluku" pada tahun 1817. Pengkristenan selanjutnya di Minahasa berjalan lancar dimana atas usaha J. Kamp telah mendatangkan dua pendeta lagi yaitu, Muller dan Lammers. Kemudian pendeta Hellendoren yang ditempatkan di Manado dan atas usahanya yang sangat giat sampai pada 1839 telah mendirikan sekolah-sekolah di Kakas, Langowan, Paniki Bawah, Tateli, Kapataran, dan Lota. Dialah yang mendesak kepada NZG supaya menjadikan Minahasa sebagai lapangan Zending.

Dan atas usahanya itu sehingga NZG mengirimkan dua penginjil, Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel yang masing-ditempatkan di Langowan dan Tondano. Dengan ditempatkannya salah satu penginjil di Langowan, maka perkembangan agama Kristen di Langowan tidaklah dapat dipisahkan dengan Johann Gottlieb Schwarz sebagai perintis yang pertama.



Riwayat Hidup Johann Gottlieb Schwarz
Johann Gottlieb Schwarz lahir pada tanggal 21 April 1800 di kota Konigsbergen, wilayah Jerman Timur yang kini masuk wilayah Rusia dengan nama Kaliningrat. Ayahnya seorang tukang sepatu dan kehidupan orang tuanya sangat beragama. Dan hal ini sangat mempengaruhi Schwarz muda, Alkitab selalu menjadi bacaannya sehari-hari. Kemudian ia tertarik dengan berita-berita zendeling di tengah-tengah mayoritas agama lain, ia tertarik tetapi belumlah terlintas dalam pikirannya kemungkinan menjadi zendeling. Pada awal tahun 1821 ia membaca berita mengenai penginjilan B&aumlrenburg di tengah mayoritas agama lain. Berita inilah yang menimbulkan cita-cita Johann untuk terjun di lapangan penginjilan. Dan ia berdoa agar diberi kekuatan mengenai rencananya.

Bertepatan dengan rencananya itu, pada tahun 1821 itu juga ia mendengar tentang pembukaan suatu "Zendeling Intitut" untuk mendidik pendeta-pendeta penginjil di kota Berlin yang diusahakan oleh Ds. Jaeke. Keinginannya memasuki Zendeling Institut itu disetujui oleh orangtuanya dengan doa kiranya Tuhan kiranya memakai anaknya. Pada tanggal 31 Agustus 1821 ia tiba di Berlin dan sementara menunggu pembukaan Zendeling Institut yang nanti dibuka pada 1 Mei 1822, ia bekerja sebagai tukang sepatu. Disinilah ia bertemu dengan Johann Frederik Riedel yang akan menjadi teman penginjilannya kelak. Mereka belajar sampai tahun 1825.

Kemudian Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) melalui Berlijnse Zendeling Genootschap meminta Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel untuk menjadi penginjil ditengah-tengah mayoritas agama lain, dan hal ini sangat disetujui oleh mereka.
Pada tanggal 12 Januari 1828 ia berangkat ke Rotterdam dan bersama J. F. Riedel mereka menambah pendidikan sampai tahun 1829. Dan pada bulan November 1830, ia dan Riedel bersama dengan Douwes Dekker meninggalkan Belanda menuju Indonesia dan sampai di Batavia (Jakarta), kemudian ke Surabaya dan tiba di Ambon pada tanggal 23 November 1830. Di Ambon, ia mempelajari bahasa Melayu dan dalam waktu singkat melanjutkan perjalanan ke Manado dan tiba di Manado pada tanggal 12 Juni 1931 (sekarang diperingati Gereja Masehi Injili di Minahasa sebagai HUT Pekabaran Injil).

Dari bulan Juni sampai bulan Oktober 1831 Schwarz mempelajari bahasa Tombulu, Toulour, Tonsea, dan Tountemboan. Hingga pada bulan Oktober 1831 ia kembali ke Batavia dan langsung ke Singapura untuk mngambil seluruh keperluan penginjilan, sekolah, dan obat-obatan. Setelah itu ia langsung kembali dan tiba di Langowan pada tanggal 7 Januari 1832. Di Langowan ia tidak mendapat rumah, sehingga untuk sementara ia tinggal di Kakas. Sementara itu rumah kediaman Schwarz di Langowan nanti selesai pada bulan Juli 1834, dan rumah tersebut dibangun dimana sekarang berada SMU Kristen Schwarz Langowan. Menurut N. Graafland dalam bukunya "Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini" yang ditulis pada tahun 1864, diterangkan bahwa kediaman Johann Gottlieb Schwarz adalah rumah yang paling bagus di Minahasa pada masa itu.
Penginjilan Johann Gottlieb Schwarz

Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa sebelum masuknya agama Kristen, penduduk Langowan sudah beragama. Pada waktu kedatangan Schwarz, tempat berkumpul untuk mengadakan upacara keagamaan adalah dimana sekarang berdiri gedung gereja GMIM Schwarz Sentrum Langowan. Dahulu disitu terdapat sebuah pohon besar yang dalam bahasa

Tountemboan disebut Wates yang daunnya lebat dan pada batangnya terdapat lobang besar yang dalam bahasa Toutemboan disebut rangowa. Pohon ini dianggap keramat sebab ditempat ini menjadi tempat pasoringan (dari asal kata soringan yang berarti alat bunyi yang dibuat dari bambu yang diberi lobang dan jika ditutup analog dengan bunyi Wala/burung Manguni). Jadi pasoringan berarti tempat memanggil dan mendengarkan bunyi burung Wala oleh Walian dan Tona'as (pemimpin-pemimpin pemerintahan.

Pada waktu itu daerah Langowan belum memiliki nama yang spesifik, dan berawal dari Schwarz-lah nama "Langowan" pertama kali di gunakan. Karena bagi orang Eropa seperti Schwarz adalah sulit bagi lidahnya untuk mengucapkan kata "rangow", dan huruf "R" yang diucapkannya menjadi huruf "L" sehingga "rangow" menjadi "Langow". Sehingga jadilah "Langowan" disahkan menjadi nama daerah Langowan hingga sekarang.

Tentang cara-cara dan usaha-usaha yang ditempuh Schwarz untuk mengkristenkan penduduk Langowan dan sekitarnya termasuk seluruh daerah yang dijelajahi oleh Schwarz, banyak ditulis oleh N. Graafland dalam bukunya yang memang mengenal Schwarz dari dekat dan banyak kali menemaninya dalam perjalanan pekabaran injil. Kerajinannya bertalian dengan wataknya yang sangat baik. Dengan tidak henti-hentinya ia mengendarai kuda dari suatu negeri ke negeri lainnya, dari Langowan ke Minahasa Selatan, dan Minahasa Utara sampai ke Likupang. Berat badannya yang gemuk tidak menjadi halangan baginya, serta siang dan malam sama saja baginya dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang penginjil. Ialah yang dapat merintis suatu kesatuan dan keteguhan jemaat dimana atas usahanya telah membentuk organisasi Majelis Jemaat (Penatua dan Syamas) dan mendidik penolong-penolong Injil (hulpzendeling) sebagai pembantu untuk mengembangkan agama Kristen dan memperhatikan perkembangan jemaat dengan seksama.

Telah disinggung bahwa ia ditempatkan di Langowan tetapi wilayah pelayanannya sangat luas, sehingga Langowan merupakan pusat dari seluruh kegiatannya yang tersebar di seluruh Minahasa.

Johann Gottlieb Schwarz sendiri masuk ke Langowan dengan bekal :

1. Bahasa Melayu yang dipelajarinya waktu singgah di Ambon tetapi masih sangat kurang.

2. Beberapa dialek bahasa Minahasa yakni bahasa Tombulu, Toulour, Tonsea, dan Tountemboan yang dipelajari di Manado selama tiga bulan, ketika tiba pada tahun 1831.

Tentunya penguasaan bahasa-bahasa ini tidaklah seberapa, akan tetapi ini bukanlah merupakan faktor yang menggagalkan usahanya dalam menanamkan agama Kristen. Khususnya di Langowan, Schwarz mendapat halangan dari kepala Walak, apalagi istrinya adalah seorang Walian. Peranan Walian dalam urusan agama sangat kuat dan ketika Schwarz datang, agama ini masih sangat kuat dijalankan penduduk. Kepala Walak pada waktu itu ialah Majoor Sigar.

Terhadap Kepala Walak ini usaha-usaha Schwarz adalah merupakan suatu kesulitan besar, karena dapatlah dibayangkan Walak terhadap penduduk apalagi terhadap istrinya yang adalah seorang Walian Tulus. Mengakibatkan Schwarz sangat sulit menghadapi penduduk yang sangat terikat hubungannya dengan Walak dan Walian terlebih terhadap agamanya.

Ditambah lagi Schwarz sulit mengadakan kontak dengan penduduk karena ia masih kaku mempergunakan bahasa-bahasa penduduk. Maklumlah bahwa peranan bahasa itu penting dalam kontak pergaulan terutama bagi penyebaran agama. Suatu cara dari schwarz yang selalu ditempuhnya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini yaitu memberikan obat-obat malaria, demam, obat-obat luka dan lain-lain yang dapat menolong orang-orang sakit sebagai penentang mantra dari walian-walian.

Banyaklah yang sadar atas kegunaan dari obat-obat yang diberikannya yang oleh Schwarz hal ini dijelaskan sebagai pertolongan dari Tuhan, tetapi ada juga yang setelah sembuh kembali menyembah agama alifuru. Walaupun demikian Schwarz tabah menghadapi semua ini dan sekalipun berlaku dalam waktu yang lama asal tujuan dapat tercapai yakni dapat mengkristenkan penduduk.


Gereja di Tomohon Abad 19

Kesulitan mengadakan kontak dengan penduduk segera teratasi karena pada tahun 1834 Schwarz dengan F. Constans, anak dari opziener kopi di Kema yang sudah mahir menggunakan bahasa Melayu, Tombulu, Tonsea, dan Tountemboan sehingga kesulitan bergaul dengan penduduk dapat teratasi. Dengan bantuan istrinya mereka dapat bercakap-cakap dengan orang sakit, dengan penduduk yang dikunjunginya, dan mereka dapat mengerti bahasa-bahasa dari walian.

Hambatan bahasa sudah teratasi kini ia dihadapkan pada hambatan terbesar yang dihadapi Langowan, yaitu karena Kepala Walak (pemerintah) Majoor Sigar masih alifuru dan istrinya adalah Walian Tulus (pemimpin agama), sehingga dari tahun 1832 sampai 1833 (saat pemecatan kepala walak oleh Gubernur De Struers) orang sudah dibaptis baru 6 (enam) orang. Pada akhir tahun 1839 orang yang sudah dibaptis menjadi kristen menjadi 212 orang. Dan setelah Mayor Sigar masuk menjadi kristen pada tahu 1841 dengan nama Benyamin Tawalijn Thomas Sigar, segera diikuti oleh orang-orang Langowan sehingga sejak itu agama Kristen berkembang pesat di Langowan.

Pada bulan September 1842 di Langowan yang sudah dibaptis ada sekitar 300 orang. Jumlah sekolah dalam wilayah pelayanannya adalah sebagai berikut
:
• 14 sekolah langsung ditanggung oleh pemerintah
• 14 sekolah berada dalam tanggungannya
• Jumlah murid kurang lebih 1200 orang
Pada akhir tahun 1848 wilayahnya yang meliputi walak Langowan, Ratahan, Kakas, Remboken, Tompaso Kawangkoan dan Sonder sudah terdapat 15 sekolah, jumlah muridnya kurang lebih 1300 orang. Jumlah anggota sidi jemaat ada kira-kira 1000 orang dan jumlah baptisan kurang lebih 3000 orang.

Bangunan gereja yang pertama-tama di Langowan ditahbiskan pada tanggal 18 April 1847, bertempat dimana gereja GMIM Sentrum Schwarz berada sekarang, yang dahulu adalah pusat agama alifuru. Dalam kebaktian pentahbisan gereja itu, juga dilantik seorang Hulpzendeling yang bernama Adrianus Angkow yang kemudian ditempatkan di Sonder. Pada tanggal 12 juni 1856 diadakanlah perayaan 25 tahun Johan Gottlieb Schwarz masuk Minahasa digedung gereja yang pertama dan satu-satunya di Langowan pada masa itu, dimana dalam perayaan ini telah dihadiri oleh Hulpzendeling Adrianus Angkow, guru-guru disekolah yang berada dalam asuhannya dan wakil-wakil dari jemaat yang dibentuknya. Tiga tahun setelah perayaan itu Johan Gottlieb Schwarz meninggal dunia di Manado, tepatnya tangal 1 Februari 1859 dan dimakamkan di Langowan pada tanggal 2 Februari 1859. Kuburan Schwarz bersama istrinya sekarang ada dilapangan olah raga GMIM Langowan.


Gereja di Tondano 1884

Sebagai pengganti Schwarz, Nederlandsche Zendeling Genootschaap (NZG) mengirimkan pendeta A.O Schaafma yang memulaikan tugasnya pada tanggal 5 Juni 1860. Pandeta Schaafma yang masih buta bahasa Melayu dan bahasa-bahasa makatana/bahasa daerah, maka sulit bagi Schaafma untuk mengadakan kontak dengan penduduk setempat, apalagi masih banyak penduduk yang memeluk agama alifuru. Ada kurang lebih 10 tahun Pdt. Schaafma bekerja di Langowan tetapi ia tak dapat berbuat banyak. Yang menambah berat bagi Pdt. Schaafma pada waktu itu adalah Schaafma tidak dapat bekerja sama dengan Residen pada waktu itu yakni J.C Bosch. Kesalahan besar yang dibuat oleh Schaafma adalah ketika missionaris Roma katholik pastor De Vries datang di Langowan pada tahun 1868 dan menginap dirumah Pdt. Schaafma dan kemudian melaksanakan baptisan pertama juga dirumah Pdt. Schaafma. Karena itu Nederlandsche Zendeling Genootschaap (NZG) menarik Pdt. Schaafma dan menggantikan dengan Pdt. M. Brouwers yang mulai bertugas pada tahun 1870.

Cara kerja Pdt. M. Brouwers sama dengan cara J. G. Schwarz ia pandai bergaul, dimana-mana ia mengadakan pendekatan dengan penduduk baik yang sudah Kristen maupun yang masih alifuru. Ia sangat memperhatikan kehidupan rohani dari penduduk yang sudah beragama Kristen. Atas usaha Pdt. M. Brouwers gedung gereja yang dibangun oleh Schwarz (Ditahbiskan pada tanggal 18-4-1847) dulu, dibaharui, dibuat, ditata jauh lebih besar.

Gereja itu ditahbiskan pada tahun 1895, setelah Pdt Brouwers bertugas selama 25 tahun, menurut cerita orang bahwa gereja itu sangat besar dan megah. Pdt M.Brouwers dalam kebaktian digereja menggunakan sistem kursi, artinya tiap satu anggota satu kursi dan tidak boleh berpindah-pindah, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengembalaan. Ia adalah pendeta yang bertugas paling lama di Langowan, dari tahun 1870 sampai tahun 1912, jadi 42 tahun lamanya. Ia meninggal pada tahun 1912 dan ketika ia meninggal pada waktu itu tidak ada lagi orang alifuru di Langowan. Hal ini dibenarkan dengan dokumen baptisan gereja Roma Katholik Langowan yang sejak tahun 1905 tidak ada lagi orang alifuru yang dibapthiskan. Kuburan Pdt. M. Brouwers juga berada di kompleks pekuburan Schwarz dilapangan olah raga GMIM Langowan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Novryxc - Pemuda Petra Kinilow | Cacatan IT