21/08/11

Masa anti-Klimaks Permesta (Likuidasi Permesta)

November 1960 Jenderal Mayor Alex Kawilarang, yang sebelumnya menolak pengangkatan PRRI atas dirinya sebagai KSAP, bulan ini mengambil alih seluruh komando pasukan Permesta atas desakan para perwira Permesta di Utara. Kekuasaan KSAD RPI Brigjen Ventje Sumual tidak diakui lagi. Dengan demikian, nama yang dipakai oleh pasukan Permesta di Minahasa Utara adalah Angkatan Perang Permesta, bukan lagi mengusung nama Angkatan Perang Revolusioner PRRI, karena PRRI telah dibubarkan sehari sebelum RPI berdiri.
Jenderal Mayor Alex E. Kawilarang secara resmi menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Permesta. Sedangkan jabatan Kepala Staf Angkatan Perang Permesta, dia menunjuk Kolonel Dolf Runturambi untuk menjabatnya.
Kolonel Dolf Runturambi mengungsi ke wilayah Utara karena ada ancaman mati dari Brigade 999, walau dalam perjalanannya ke Utara, ia dengan segala alasan, hanya dilucuti senjatanya. Ia mengirimkan surat kepada Jan Timbuleng dan Laurens Saerang masing² sebagai komandan Brigade 999 (Triple Nine atau 3x9 atau Tiga-Sembilan) dan komandan Brigade Manguni untuk meminta jaminan keselamatan akan rombongannya untuk melewati wilayah mereka, padahal ia melewati pantai barat Minahasa melewati pegunungan Lolombulan di daerah Motoling.
4 Desember 1960 Setelah berita terbunuhnya Kepala Pemerintahan Sipil PRRI di Sulawesi merangkap Waperdam/Menteri Pertahanan Joop Warouw tersiar, maka mulai hari ini, Panglima Besar Angkatan Perang Permesta Alex Kawilarang memerintahkan kepada seluruh pasukan dan pemerintahah sipil Permesta agar diadakan tujuh hari berkabung bagi alm. Joop Warouw.
Berita kematian Joop Warouw ini sudah diketahui kedua belah pihak (pasukan Permesta dan Tentara Pusat) pada saat menjelang bulan November lalu.
13 Desember 1960 Melihat pertumbuhan yang pesat disegala bidang baik di sektor pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, Pemerintah Pusat menganggap perlu mengubah sebutah provinsi Sulawesi Utara Tengah menjadi Daerah Tingkat I (Dati I atau Daerah Swantara tingkat Pertama) Sulawesi Utara Tengah dengan dikeluarkannya Undang² Darurat No. 47 Prp. Tahun 1960.
Gubernur Sulawesi Utara (Sulutteng) yang baru -pertama kali (versi Pemerintah Pusat) adalah Arnold Achmad Baramuli, SH. yang dijabat dari tanggal 23 September 1960 sampai 15 Juni 1962 yang adalah gubernur termuda di Indonesia saat itu (30 tahun). Sebelumnya ia adalah Jaksa Distrik Militer provinsi Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur dengan pangkat Letkol Tituler.
15 Desember 1960 Brigjen Ventje Sumual mengirimkan kawat kepada para komandan distrik (WK) dan batalyon Permesta, dengan perintah agar jika benar laporan mengenai pertemuan pimpinan² tertentu tentara RPI (PRRI telah dibubarkan sebelumnya) dengan musuh, tindakan demikian harus dianggap sebagai pengkhianatan, dan harus dilancarkan usaha untuk mencegahnya (dibunuh).
Ventje Sumual memang tidak diajak berunding oleh perwira Permesta di Minahasa Utara dengan Pemerintah Pusat.
17 Desember 1960 Pada pertemuan hari ini antara F.J. (Broer) Tumbelaka, A.C.J. (Abe) Mantiri, Arie W. Supit, persetujuan dicapai mengenai prosedur yang akan diambil untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah² yang akan diambil sebagai berikut:
1) seruan oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf Jenderal A.H. Nasution kepada kaum pemberontak agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi;
2) pernyataan resmi dari pihak Permesta bahwa mereka telah kembali ke "pangkuan Ibu Pertiwi";
3) gencatan senjata (cease-fire);
4) pertemuan resmi untuk membahas masalah² teknis militer seperti masalah pembekalan dan penempatan pasukan Permesta di daerah² yang ditentukan;
5) inspeksi atas bekas pasukan Permesta oleh Menteri Pertahanan/Kepala Staf A.H. Nasution.
KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution secara pribadi menjamin kepada Broer Tumbelaka, bahwa ia "tetap kuat untuk membela terhadap tarikan kiri-kanan", dan dalam sebuah pidatio yang disiarkan RRI Manado pada hari ini, ia membahas hal ini dan lain² hal yang penting dalam perundingan antara Permesta dan TNI. Ia mengumumkan ditetapkannya peraturan yang memberikan hak otonomi kepada provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang akan berlaku sejak Januari 1961.
1961 Dalam data statistik Sensus Penduduk 1961, penduduk Minahasa pada tahun 1961 berjumlah 581.836, sudah termasuk Kota Manado sebanyak 129.912 jiwa.
Awal tahun 1961 Wakil Gubernur Sulutteng F.J. (Broer) Tumbelaka, berkunjung ke desa Malenos untuk menugaskan Victor Adoelf Tutu sebagai Hukum Tua (=kuntua / kepala desa) Desa Malenos untuk menjadi penghubung antara pemerintah dan pasukan Permesta, dan mencari lokasi yang aman untuk tempat mengadakan perundingan.

Perundingan pertama, diadakan di perkebunan Ritey, dekat hulu Sungai Malenos. Pihak pemerintah diwakili Broer Tumbelaka sebagai Wakil Gubernur Sulut, sedangkan pihak Permesta diwakili oleh Johan Tambajong. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan perundingan lanjutan di desa Malenos dan akan mempertemukan pimpinan pasukan Permesta dan TNI.

Perundingan lanjutan diadakan di gedung Gereja GMIM Malenos, yang dihadiri utusan pemerintah RI adalah Wagub Broer Tumbelaka dan Perwira Staf Kodam XIII/Merdeka, Kol. Supangat. Sedangkan utusan Permesta diwakili oleh Johan Tambajong dan Wim Tenges selaku Komandan Brigade WK III. Selama perundingan berlangsung, keamanannya dijaga ketat oleh pasukan Batalion A/Kompi Buaya di bawah pimpinan Kapten Permesta Anthon Tenges. Perundingan berjalan baik dimana masing² pihak saling memahami dan berjabat tangan, maka lahirlah persetujuan perdsamaian untuk mengakhiri perang saudara. Dalam perundingan tersebut, telah diputuskan bersama untuk mengadakan gencatan senjata dan upacara pembuatan naskah perdamaian antara pemerintah RI dengan pasukan Permesta, dan disepakati diadakan di Desa Malenos Baru yang sekarang ini sudah jadi pemukiman penduduk. Jarak dari Desa Malenos ke Desa Malenos Baru cukup dengan menempuh kira² 1.500 meter.
11-15 Februari 1961 Dalam periode waktu ini, ada 11.343 orang dari Brigade Manguni dibawah komando Kepala Daerah Minahasa Permesta Letkol Laurens F. Saerang, anggota Pasukan Wanita Permesta (PWP) dan orang² dari lima pangkalan gerilya di Langowan-Kakas, dibawah pimpinan Laurens F. Saerang, menyerah kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada tanggal 15 Februari 1961 oleh Brigjen Ahmad Yani (wakil KSAD TNI, serta Kepala Komando Wilayah Indonesia Timur sejak Januari 1960).
Laporan terakhir menyatakan, ada 6.000 pasukan, 2.000 pengikut, serta 1.003 senjata diserahkan pada saat itu.
12 Februari 1961 Pertemuan di desa Malenos diadakan antara Broer Tumbelaka dengan perwira Permesta seperti Yus Somba, Lendy Tumbelaka, dan Abe Mantiri. Broer mendesak agar suatu persetujuan akhir diputuskan dengan cepat. Sebelumnya, Broer menulis sebuah surat yang panjang kepada D.J. Somba yang mendesak agar suatu persetujuan akhir diputuskan dengan cepat.
4 Maret 1961 Di Jakarta dilangsungkan penandatanganan perjanjian pembelian senjata dari Uni Soviet kepada Pemerintah Pusat Indonesia atas dasar kredit jangka panjang. Pembelian senjata tersebut adalah pembelian senjata terbesar yang pernah dilakukan dari luar negeri sampai saat itu. antara lain: 275 tank, 560 kendaraan militer untuk Angkatan Darat; lebih dari 150 pesawat berbagai jenis untuk Angkatan Udara; 4 corvet, 24 kapal torpedo, 2 kapal selam dan lain² untuk Angkatan Laut.
Bantuan perlengkapan senjata dari Blok Uni Soviet dan Eropa Timur dalam jumlah begitu besar, menyebabkan pemerintah Amerika Serikat meninjau kembali politik permintaan senjata Amerika Serikat oleh Indonesia.
31 Maret 1961 Pamplet yang berisi seruan KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution disebarkan sejak hari ini, dan bahwa upacara penandatanganan resmi pernyataan Kolonel Permesta D.J. Somba mengenai kembalinya ke pangkuan Republik Indonesia akan dilangsungkan pada tanggal 4 April, dan gencatan senjata akan berlaku sejak 11 April.
April 1961 Menurut keterangan Jenderal Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata² tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari 1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = ±5.475 orang.
2 April 1961 Pertemuan pendahuluan di desa Lopana/Tumpaan (dimana Permesta diwakili oleh Panglima Besar Permesta Mayjen Permesta Alex Kawilarang serta Pemerintah Pusat diwakili oleh Deputi I KSAD, Brigjen TNI Ahmad Yani) guna menjajaki rapat "Penyelesaian Permesta".
Selain itu juga diadakan pertemuan antara Kolonel Permesta D.J. Somba dan Kolonel TNI Soenandar Priosudarmo di Lopana.
3 April 1961 Pasukan Zeni Kodam XIII/Merdeka membuat suatu lapangan untuk tempat upacara pertemuan pendahuluan penyelesaian Permesta.
Tempat itu sekarang yakni berada di sekitar rumah Gereja GMIM Eben Haezer Malenos Baru.
4 April 1961 Upacara Perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat.
Penyelesaian masalah Pergolakan Permesta di Malenos Baru (saat itu masih berupa hutan jati), Amurang, yaitu Upacara Penandatangan Kembalinya Pasukan Permesta dari Mayor D.J.Somba selaku Komandan KDM-SUT kepada Ibu Pertiwi. Pembacaan pernyataan dibacakan oleh Drs. Andri Sampow (waktu itu masih sebagai mahasiswa).
Pihak TNI diwakili Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo, dan pihak Permesta diwakili oleh Kolonel (Permesta) Lendy R. Tumbelaka dan Letkol tituler A.C.J. Mantiri (bekas direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado, yang tak lain adalah suami dari sepupu Alex Kawilarang) sebagai perunding utama dari Permesta, disamping Panglima Besar Mayjen (Permesta) Alex E. KAWILARANG dan Kolonel (Permesta) D.J. SOMBA.
Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo didampingi Kepala Kepolisian Sulutteng, Drs. Moerhadi Danuwilogo, komandan Tim Perjuangan Resimen, Letkol Sampurno, serta beberapa perwira lain dari Kodam XIII. Selain Komandan KDM-SUT, Kolonel Permesta D.J. (Yus) Somba, Permesta juga diwakili oleh Deputi III Panglima Besar Permesta, Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Kolonel Permesta Wim Tenges, dan Sekjen Dephan Permesta, Letkol tituler Permesta A.C.J.(Abe) Mantiri.
Upacara ditutup dengan berbarisnya sepasukan Permesta (kompi) dari Kapten Lengkong Worang dari Sekolah Pendidikan Angkatan Darat (SPAD) Permesta, yang meski ada diantara mereka yang tidak bersepatu, persenjataannya lengkap.
Surat Pernyataan penghentian tindak permusuhan Permesta-TNI di Minahasa, disaksikan Panglima Besar Angkatan Perang Permesta Jenderal Mayor Alex Kawilarang disatu pihak dan Jenderal Mayor TNI Hidayat dan Panglima KDM XIII/Merdeka Kolonel Soenandar Priosoedarmo pada pihak lain, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
  1. Setelah membatja seruan Menteri Keamanan Nasution/KSAD tertanggal 3 Maret 1961;
  2. Mengingat keputusan terachir dari pucuk pimpinan Angkatan Perang Revolusioner;
  3. Menimbang, bahwa persengketaan antara kita dengan kita jang telah berlangsung selama 3 tahun ini, telah meminta pengorbanan jang tidak terhingga dari rakjat Indonesia pada umumnja dan rakjat Sulawesi Utara dan Tengah pada chususnja sehingga kami telah sampai pada kesimpulan bahwa keadaan sematjam ini tidak dapat dibiarkan terus;
  4. Demi untuk keselamatan dan kesentosaan bangsa Indonesia, rakjat dan daerah Sulawesi Utara/Tengah chususnja, persengketaan tersebut perlu segera dihentikan. Maka oleh karenanja dengan ini menjatakan bahwa mulai tanggal 4 April 1961, kami dengan seluruh pasukan dan rakjat Permesta jang berada dalam lingkungan pimpinan kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi;
  5. Segala persoalan jang timbul sebagai akibat daripada penghentian persengketaan ini, akan diatur oleh jang diwajibkan untuk itu oleh pemerintah RI;
  6. Semoga Tuhan Jang Maha Esa melimpahkan rahmat, hidajat serta taufikNja atas kita sekalian.

Ditempat, 4 April 1961
Panglima KDMSUT
(D.J. Somba)


Dengan demikian terhitung mulai hari ini, Permesta sudah dinyatakan berakhir, dan telah berdamai dengan pusat tanpa ada yang kalah, maupun menang.
Penting untuk dicatat, bahwa Yus Somba menandatangani dokumen² ini sebagai Komandan KDM-SUT, meski secara resmi sudah dibubarkan pada 23 Agustus 1958; hal ini berarti ia dan pasukan Permesta yang menyerahkan diri itu diakui sebagai bekas anggota TNI.
Untuk penyaluran para ex-Permesta diatur dalam dokumen "Ketentuan² Mengenai Penjaluran ex-Anggota Permesta" tertanggal 4 April 1961.
penyelesaian_pasukan03
11 April 1961 Gencatan senjata (cease-fire) antara pasukan Permesta dan Tentara Pusat dilakukan hari ini.
14 April 1961 Upacara defile "Penyelesaian" penyambutan kembalinya Permesta ke pangkuan RI secara resmi diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan, yang mana GMIM selaku fasilitator yang mempersiapkan lahan upacara pertemuan.
Sekitar 30.000 tentara Permesta di Sulawesi Utara saat itu keluar dari hutan² setelah diadakan perundingan damai antara Permesta-Pemerintah Pusat.
Dalam upacara tersebut, disiapkan pasukan Permesta dan TNI masing² berkekuatan satu brigade, berparade di lapangan upacara Woloan. Hadir dalam parade tersebut, utusan pusat Wakil Menteri Pertahanan Mayjen TNI-AD Hidayat (perwira senoir TNI-AD), Brigjen TNI Ahmad Yani, Panglima Kodam XIII/Merdeka Kolonel TNI Soenandar Priosoedarmo beserta staf, dan petinggi Permesta; Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang, KSAP Permesta Kolonel Dolf Runturambi, Kastaf AUREV Kolonel AUREV Petit Muharto Kartodirdjo, Panglima KDM-SUT Kolonel Permesta D.J. Somba, Komandan WK-III Kolonel Permesta Wim Tenges, Staf Markas Komando Permesta, a.l. Kolonel Permesta Lendy R. Tumbelaka, Letkol tituler Permesta A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta), staf komando Angkatan Perang Permesta lainnya, atase² militer negara asing antara lain Kolonel George Benson dari Kedubes Amerika Serikat (yang dulunya ikut mengkoordinasikan penyaluran senjata kepada Permesta), Gubernur Sulutteng Arnold A. Baramuli, SH, Wagub F.J. (Broer) Tumbelaka, dan stafnya, anggota pemerintahan setempat, serta masyarakat. Parade diadakan dua kali, yaitu untuk Wakil Menteri Pertahanan RI Mayjen TNI Hidayat dan kedua kalinya untuk Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang.
Dalam upacara ini juga WAKASAD (Wakil KSAD) Mayjen TNI Hidayat menerima Mayjen Permesta Alex E. Kawilarang sebagai seorang teman lamanya, selain beberapa perwira seperti Pangdam XII/Merdeka Kolonel TNI Soenandar dengan Kastaf Angkatan Perang Permesta, Kolonel Permesta Dolf Runturambi, yang adalah sekelas di SSKAD 54/55.

Alex Kawilarang sulit menyembunyikan kekesalannya terhadap Bung Karno. Hal itu tersirat dari percakapan awal pertemuannya dengan JJ Pitoy yang dihadiri wartawan S.E.Panggey, begitu berjabat tangan, langsung membuka percakapan dengan kata²: "Bagaimana dengan Soekarno-mu ?" Ia terus melanjutkan kata² yang bernada sindiran terhadap Bung Karno begitu berjabat tangan tangan dengan S.E.Panggey yang oleh Mr J.J.Pitoy diperkenalkan sebagai wartawan Permesta yang baru saja keluar bui (penjara) (sekitar 2 tahun berada dalam tahanan karena sebagai wartawan, S.E.Panggey telah ikut mendarat ke Morotai dengan Permesta pimpinan Mayor Nun Pantouw.

Kapal terakhir yang membawa perbekalan bagi Angkatan Perang Permesta tiba saat upacara defile ini berlangsung, yang disebut Permesta sebagai "Apel para Pahlawan". Setelah upacara, Petit Muharto pergi ke luar negeri dengan kapal ini ke Singapura dan baru kembali ke Indonesia setelah 1966.
Setelah itu, perwira Permesta kembali ke markas. Beberapa hari kemudian, markas Staf Angkatan Perang Permesta dipindahkan ke Tara-tara. Urusan administrasi personil dan pasukan Permesta dikerjakan di Taratara dan Woloan. Para anggota pasukan Permesta kemudian diberhentikan dengan hormat dari dinas militer Permesta, dan diberikan piagam pemberhentian yang dimaksud. Likuidasi Pasukan Permesta ini dilakukan sampai pada sekitar bulan September tahun itu. Hubungan dengan Kodam XIII/Merdeka dilakukan dengan kurir. Keluarga² sudah boleh mengunjungi keluarga mereka di kota dan dapat tingal bersama keluarga yang menampungnya. Anggota² pasukan Permesta tetap berada di daerah² yang didudukinya. Mereka tidak diperkenankan keluar daerahnya tanpa izin dari komandan masing² dan komandan pasukan TNI di daerah dekat. Membawa senjata keluar daerah masing² tidak diperkenankan.

penyelesaian_pasukan1
Defile tentara Permesta diterima Brigjen Ahmad Yani
April 1961 Kolonel (Permesta) D.J. Somba dan pasukannya memimpin suatu aksi pemberontakan.
(Kelak setelah mendapat amnesti serta dikarantinakan politik selama 10 hari di Jakarta, kemudian menerima kembali pangkat resmi sebagai Mayor TNI dan pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel).

Menurut keterangan Jenderal A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan, rata² tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI. Berdasarkan keterangan ini dapat diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sejak Februari 1958 sampai Maret 1961, yaitu 3 thn x 365 hari x 5 orang = 5.475 orang.
12 Mei 1961 Pertemuan diadakan di rumah Keluarga Hans Tular di Tomohon mulai pukul 09.00 antara Panglima Besar Permesta Mayor Jenderal (Permesta) Alexander Evert Kawilarang dengan Kepala Staf TNI-AD Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution, yang turut dihadiri oleh seorang perwira CPM, KSAP Permesta Kolonel Dolf Runturambi, Sekjen Permesta Letkol tituler A.C.J. (Abe) Mantiri.
Mengenai penyelesaian pasukan Permesta, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menjelaskan:
  • (a) perwira² bekas TNI tetap akan memiliki tanda pangkat TNI yang dimilikinya pada 17 Februari 1958;
  • (b) perwira² yang sekarang mempunyai tanda pangkat yang lebih tinggi dari pangkat 17 Februari 1958, dapat diterima kalau sesuai dengan jabatan yang dipegangnya sekarang;
  • (c) komandan² kompi/regu/peleton yang bukan ex. TNI akan dimasukkan dalam pendidikan untuk jabatan² yang mereka duduki sekarang; pemuda yang menjadi anggota pasukan akan diberikan pendidikan militer;
  • (d) pelajar² boleh kembali ke bangku sekolah;
  • (e) mengenai angkatan lain seperti Polri-AURI-ALRI mereka boleh kembali ke kesatuan masing² setelah melapor kepada sebuah panitia yang akan dibentuk bersama antara TNI dan Permesta;
  • (f) anggota² pemerintahan sipil dapat kembali ke jawatannya semula sesuai dengan ketentuan yaitu, melalui panitia yang disebut pada sub e di atas.

Kemudian setelah pertemuan, KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution bersama rombongan yang terdiri dari perwira² stafnya, Kodam XIII/Merdeka, atase² militer negara asing, D.J. Somba dan Dolf Runturambi bersama dengan rombongan lainnya menuju Papakelan - Tondano, dan diadakan parade oleh satu brigade pasukan Permesta dan brigade TNI AD. KSAD TNI Jenderal A.H. Nasution menerima penghormatan tersebut. Panglima Besar Permesta Alex E. Kawilarang dari pertemuan di Tomohon, langsung kembali ke Woloan dan Taratara, karena ia masih kurang sehat akibat flu yang dideritanya dua hari sebelumnya.

Para perwira Permesta tersebut kemudian menerima kembali pangkat mereka saat sebelum 17 Februari 1958. Namun permasalahannya kemudian terletak pada posisi Alex E. Kawilarang, karena selain sebagai perwira senior TNI, juga pangkatnya sangat tinggi, yaitu Jenderal Mayor Permesta. Akhirnya diambil keputusan bahwa ia akan diberikan pensiun (purnawirawan).

(Tetapi belakangan Kawilarang kecewa pada Nasution yang tidak menepati janjinya:
Sejumlah perwira Permesta ditahan dan yang lainnya diturunkan pangkat. Ribuan pasukan Permesta setiba mereka di pulau Jawa tanpa diduga dilucuti senjatanya dan dimasukkan ke kamp² konsentrasi/rehabilitasi. Sebagian lagi dikirim ke perbatasan Kalimantan Utara dan berperang melawan tentara Inggris Ghurka/Dwikora).


Kepala Staf Angkatan Perang RPI, Brigjen. Ventje Sumual saat itu belum menyerahkan diri. Ia masih di hutan menunggu perintah dari Sjafruddin Prawiranegara selaku sebagai Perdana Menteri RPI. Tinggal kurang dari 200 orang pasukan yang masih menjadi anak buahnya. Anggota keluarga, orang sipil lain, serta mereka yang sakit dan cacat diperbolehkan menyerah pada bulan Mei. Ny. Sumual, Ny. Hetty Gerungan-Warouw, Ny. J.H.Pantouw-Macawalang dan Gubernur Permesta H.D. Manoppo berada dalam kelompok ini.
29 Mei 1961 Secara resmi Ahmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh² RPI yang lain, baik sipil maupun militer.
Kelompok M. Simbolon dan Achmad Husein memang memisahkan dengan RPI (Republik Persatuan Indonesia), lalu mebentuk Pemerintah Darurat Militer, sama seperti yang dilakukan Alex Kawilarang dan kawan²nya di Sulawesi. Mereka telah melangsungkan perundingan antar tahun 1958-1959 di Singapura, Hong Kong dan Jenewa, namun menemui kegagalan.
bulan Juni dan Juli mereka menyerahkan diri dengan sejumlah 24.500 orang.
22 Juni 1961 ani_id_flag.gif Permesta mendapat amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 322 TAHUN 1961 Tentang "Pemberian AMNESTI dan ABOLISI Kepada Para Pengikut Gerakan `Permesta` Dibawah Pimpinan Kawilarang, Saerang, dan Somba yang Memenuhi Panggilan Pemerintah Kembali Kepangkuan Ibu Pertiwi".

Amnesti dan abolisi ini diberikan kepada para pengikut gerakan "Permesta" dibawah pimpinan Alex Kawilarang, Laurens Saerang dan D.J. Somba yang telah memenuhi panggilan Pemerintah untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.
Dengan memberikan amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap pengikut gerakan Permesta dibawah komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang dihapuskan.
Dengan memberikan abolisi, maka penuntutan terhadap pengikut gerakan Permesta dibawah komando Alex Kawilarang dan Laurens Saerang ditiadakan.
Pelaksanaan dari keputusan ini dilanjutkan oleh Menteri Keamanan Nasional sedangkan kelanjutannya (follow-up) menjadi tugas departemen yang bersangkutan dibawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional.

ae_kawilarang.jpg Amesti ini dinyatakan kepada mereka "yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi".
Amnesti dan abolisi ini tidak disetujui oleh PKI.

Alex E. Kawilarang, D.J. Somba, Wim Tenges, Lendy R. Tumbelaka, Laurens F. Saerang langsung direhabilitasi namanya oleh Presiden Soekarno, sedangkan yang lainnya diberi komentar "Revolusi belum selesai dan tuan² ini adalah penghalang roda revolusi," kata Soekarno kepada para bekas perwira Permesta yang lainnya dan kemudian ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Mayor D.J. Somba sempat ditahan (karantina politik) selama 10 hari di Jakarta.

Pasukan Brigade Anoa (sebelumnya adalah Batalyon Q) pimpinan Mayor J. Lumingkewas yang bertahan di daerah Kotambunan - Bolmong, terperangkap diantara gerombolan pasukan Brigade 999 ("CTN/Garda Nasional" RPI) dan kepungan pasukan TNI, setelah menerima berita perdamaian tersebut, kemudian diangkut truk lalu naik kapal laut menuju Bitung. Selanjutnya pasukan ini dikirim ke Jawa Timur untuk kemudian dilatih di sana dan berangkat ke Irian barat menghadapai Belanda dalam rangka Operasi Trikora. Sebagian besar pasukan yang adalah gabungan ex. KNIL-TNI ini gugur di sana.
Bekas tentara Permesta yang dilatih di Minahasa selama beberapa minggu kemudian dikirim ke Kamp Rehabilitasi/Latihan di daerah Jawa Timur dalam beberapa tahap untuk persiapan dikirim untuk Operasi Pembebasan Irian Barat, Operasi Dwikora, dll.
Antara lain mereka naik kapal angkut pasukan ADRI "Aronda" dan tiba di Tanjung Perak Surabaya tanggal 1 September 1961, kemudian ditampung di Kamp Konsentrasi Dinoyo. Mereka di sana selama masa rehabilitasi diperlakukan dengan baik. Mereka menerima sabun mandi, rokok dan sedikit uang saku. Meskipun demikian, satuan² Permesta yang dikirim pada pemberangkatan² awal mengakui dalam surat yang dikirimkan kepada keluarga dan teman mereka bahwa mereka tidak diperlakukan dengan baik, senjatanya langsung disita di tempat latihan/rehabilitasi tersebut, sehingga timbul beberapa insiden di Bitung yang menolak untuk dikirim ke sana, dll.
Setelah selesai masa rehabilitasi kami diberikan 3 pilihan yaitu kembali ke bangku sekolah, kembali ke masyarakat dan masuk TNI. Setelah dites ternyata hanya sedikit yang tembus. Sedangkan sebagian besar kembali ke masyarakat.

Sebagian bekas pasukan Permesta (eks-Meta) diterima menjadi tentara APRI atau kembali ke kesatuannya.
Beberapa perwira Permesta, seperti D.J. Somba dan Lendy R. Tumbelaka ditarik ke Bakin (Badan Koodinasi Intelejen Negara), juga beberapa diantaranya yang mendapat tugas di MBAD (Mabes TNI-AD).

Para pemuda Permesta lainnya menempuh Sekolah Lanjutan Peralihan di Manado yang disediakan Pemerintah Pusat, setelah Penyelesaian Permesta (Kelak mereka mendirikan sebuah organisasi yang dianggap sebagai forum pembinaan dengan nama Ikaselanpe/Ikatan Alumni Sekolah Lanjutan Menengah Peralihan di Jakarta).

10 Juli 1961 Setelah sebelumnya pada bulan yang sama, Nun Pantouw serta adik perempuan Ventje Sumual, Evert (salah satu pimpinan PWP) ditangkap oleh pasukan Permesta yang sudah kembali ke TNI (disergap dalam sebuah acara di daerah Tombatu), Broer Tumbelaka datang bertemu dengan keduanya hari ini dan menyerahkan mereka kepada Kolonel Soenandar Priosoedarmo atas permintaan kedua orang itu sendiri.
29 Juli 1961 Suatu upacara di Manado diadakan hari ini untuk menyambut dan menegaskan amnesti dan abolisi terhadap Permesta serta penghapusan tuduhan² resmi yang mungkin akan diadakan terhadap pasukan Permesta.

Sebagai hasil penyelesaian dengan Alex E. Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 diantaranya anggota militer, 8.000 diantaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI.
(Daftar ini tertanggal 6 April 1961 yang ditandatangani oleh Lendy R. Tumbelaka, sebagai kepala tim penengah KDM-SUT; hampir separuh mereka yang dimasukkan, yakni 13.673 orang, berada di Distrik III [WK-III]; terdapat 3.000-4.000 orang di ketiga Distrik/WK lain. Terdapat sekitar 3.000 senjata yang terdaftar di WK-II dan WK-III. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 diantaranya dari KDM-SUT [mungkin bekas TNI dari satuan manapun], dan 9.000 bekas anggota KNIL [1.000 diantaranya sudah pensiun]. Jumlah Pasukan Wanita Permesta yang menyerahkan diri saat itu antara 1.413 [angka dari Annie Kalangie], dan 1.502 dalam daftar 6 April 1961 ini).
Setelah masa screening, 8.000 orang dikirim ke Jawa Timur untuk karantina politik dan reindoktrinasi sebelum diterima (atau diterima kembali) ke dalam TNI. Sejumlah 11.000 orang, militer maupun sipil, telah menyerah bersama² dengan Brigade Manguni dan Laurens Saerang, dan sejumlah satuan Permesta lainnya telah menyerah kepada pasukan TNI setempat.
Tinggal kelompok di Minahasa Selatan, Ventje Sumual, Nun Pantouw, dan kedua batalyon dari Brigade 999 (Bn. Goan dan Bn. Lisangan): diperkirakan sejumlah 1.500 orang, 900 diantaranya bersenjata.
17 Agustus 1961

Panpres No.449/Th.1961 Tentang Amnesti dan Abolisi secara luas, selain kepada PRRI dan Permesta, juga kepada pemberontak DI/TII Daud Beureuh, Republik Maluku Selatan (RMS), DI/TII Kahar Mudzakkhar, dll, dengan syarat harus melapor selambat²nya tanggal 5 Oktober 1961 sudah harus melapor diri.

Bekas KSAU AUREV Petit Muharto Kartodirdjo pergi ke Kuala Lumpur untuk kemudian menghadiri penandatanganan pernyataan untuk kembali ke pangkuan RI.
Setelah penandatanganan itu, dia menerima sebuah perintah dari Alex Kawilarang untuk menyusun kepulangan keluarga² Permesta yang tetap berada di luar negeri. Sesudah konflik berakhir, Petit tetap tinggal di Singapura bersama keluarganya, baru pada tahun 1967 dia kembali ke Indonesia untuk jangka waktu yang pendek, untuk mengunjungi relasinya. Petit baru pulang kembali ke Indonesia tahun 1969.


Hari ini, Presiden Republik Persatuan Indonesia Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berakhirnya permusuhan, dan memerintahkan diakhirinya segala tentangan terhadap pemerintah RI dan TNI-nya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Novryxc - Pemuda Petra Kinilow | Cacatan IT