21/08/11

Masa Post-Permesta (Rehabilitasi Permesta)

September 1961 ae_kawilarang.jpg Likuidasi pasukan Permesta setidaknya berakhir bulan ini dengan selesainya pendataan pasukan/ satuan² Permesta. Bagi para tentara Permesta, diberikan semacam surat keterangan/ijazah yang menerangkan bahwa yang bersangkutan dibebastugaskan dari dinas Angkatan Perang Permesta yang ditandatangani langsung oleh Alex Kawilarang yang mencantumkan pangkat resmi Jenderal Mayor Permesta atas nama Angkatan Perang Permesta.

Pasukan Brigade Anoa (sebelumnya adalah Batalyon Q) pimpinan Mayor J. Lumingkewas yang bertahan di daerah Kotambunan - Bolmong, terperangkap diantara gerombolan pasukan Brigade 999 ("CTN/Garda Nasional" RPI) dan kepungan pasukan TNI, setelah menerima berita perdamaian tersebut, kemudian diangkut truk lalu naik kapal laut menuju Bitung. Selanjutnya pasukan ini dikirim ke Jawa Timur untuk kemudian dilatih di sana dan berangkat ke Irian barat menghadapai Belanda dalam rangka Operasi Trikora. Sebagian besar pasukan yang adalah gabungan ex. KNIL-TNI ini gugur di sana.
Bekas tentara Permesta yang dilatih di Minahasa selama beberapa minggu kemudian dikirim ke Kamp Rehabilitasi/Latihan di daerah Jawa Timur dalam beberapa tahap untuk persiapan dikirim untuk Operasi Pembebasan Irian Barat, Operasi Dwikora, dll.
Antara lain mereka naik kapal angkut pasukan ADRI "Aronda" dan tiba di Tanjung Perak Surabaya tanggal 1 September 1961, kemudian ditampung di Kamp Konsentrasi Dinoyo. Mereka di sana selama masa rehabilitasi diperlakukan dengan baik. Mereka menerima sabun mandi, rokok dan sedikit uang saku. Meskipun demikian, satuan² Permesta yang dikirim pada pemberangkatan² awal mengakui dalam surat yang dikirimkan kepada keluarga dan teman mereka bahwa mereka tidak diperlakukan dengan baik, senjatanya langsung disita di tempat latihan/rehabilitasi tersebut, sehingga timbul beberapa insiden di Bitung yang menolak untuk dikirim ke sana, dll
Setelah selesai masa rehabilitasi kami diberikan 3 pilihan yaitu kembali ke bangku sekolah, kembali ke masyarakat dan masuk TNI. Setelah dites ternyata hanya sedikit yang tembus. Sedangkan sebagian besar kembali ke masyarakat.

Sebagian bekas pasukan Permesta (eks-Meta) diterima menjadi tentara APRI (TNI) atau kembali kekesatuannya.
Beberapa perwira Permesta, seperti D.J. Somba dan Lendy R. Tumbelaka ditarik ke Bakin (Badan Koodinasi Intelejen Negara), juga beberapa diantaranya yang mendapat tugas di MBAD (Mabes TNI-AD).

Para pemuda Permesta lainnya menempuh Sekolah Lanjutan Peralihan di Manado yang disediakan Pemerintah Pusat, setelah Penyelesaian PRRI dan Permesta (Kelak mereka mendirikan sebuah organisasi yang dianggap sebagai forum pembinaan dengan nama Ikaselanpe (Ikatan Alumni Sekolah Lanjutan Menengah Peralihan) di Jakarta).

Sebagai hasil penyelesaian dengan Alex E. Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang; 25.176 diantaranya anggota militer dan 8.000 diantaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI.
(Daftar ini tertanggal 6 April 1961 yang ditandatangani oleh Lendy R. Tumbelaka, sebagai kepala tim penengah KDM-SUT; hampir separuh mereka yang dimasukkan, yakni 13.673 orang, berada di Distrik III [WK-III]; terdapat 3.000-4.000 orang di ketiga Distrik/WK lain. Terdapat sekitar 3.000 senjata yang terdaftar di WK-II dan WK-III. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 diantaranya dari KDM-SUT [mungkin bekas TNI dari satuan manapun], dan 9.000 bekas anggota KNIL [1.000 diantaranya sudah pensiun]. Jumlah Pasukan Wanita Permesta yang menyerahkan diri saat itu antara 1.413 [angka dari Annie Kalangie], dan 1.502 dalam daftar 6 April 1961 ini).
Setelah masa screening, 8.000 orang dikirim ke Jawa Timur untuk karantina politik dan reindoktrinasi sebelum diterima (atau diterima kembali) ke dalam TNI.
Sejumlah 11.000 orang, militer maupun sipil, telah menyerah bersama² dengan Brigade Manguni dan Laurens Saerang, selain itu juga sejumlah satuan Permesta lainnya telah menyerah kepada pasukan TNI setempat.
Tinggal kelompok di Minahasa Selatan, Ventje Sumual, Nun Pantouw, dan kedua batalyon dari Brigade 999 (Bn. Goan dan Bn. Lisangan): diperkirakan sejumlah 1.500 orang, 900 diantaranya bersenjata.
18 Oktober 1961 Panpres No.568/Th.1961 tentang berbagai keringanan bagi mereka yang tertangkap dalam medan pertempuran.
20 Oktober 1961 KSAD RPI, Brigjen Ventje Sumual dengan bantuan para bekas perwira Permesta yang telah menyerah, menyerahkan diri dengan menghadap KSAD Jenderal TNI A.H. Nasution di rumah dinasnya dan diantar Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Soenandar Priosudarmo dan secara tertulis menyatakan "menyerah, ulangi menyerah tanpa syarat", serta dengan tegas menyatakan bahwa ia memikul diatas pundaknya seluruh tanggung jawab bagi segenap jajaran pasukan tentara dan sipil Permesta baik di dalam maupun di luar negeri. Surat penyerahan diri tersebut bertanggal 4 Oktober (karena batas akhir ultimatum surat keputusan Presiden RI berakhir tanggal 5 Oktober). Saat itu, ikut pula 50 orang yang ikut menyerah bersamanya.

Sebelumnya, Pemerintah Pusat mengirim Mayor Soleman Lumintang alias Kakek, bekas Komandan Bn.C/WK-IV Permesta, yang dikenal cukup dekat dan mampu untuk mendekati dan berunding dengan Ventje Sumual yang masih bersembunyi di hutan. Ternyata pada saat bersamaan, Ventje Sumual sudah keluar hutan untuk menyerahkan diri. Mereka berpapasan di sekitar hutan Tumani, Tompaso Baru.
19 Desember 1961

Dalam rapat raksasa di Yogyakarta, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Dalam Operasi Trikora, banyak pasukan eks Permesta yang diikutsertakan.
Diantaranya adalah Pasukan Letkol Jonkhy Robert Kumontoy yang bergerilya di Halmahera - Maluku Utara. Karena sulitnya perhubungan, Kumontoy tidak menerima instruksi Ventje Sumual pada 1961 agar semua pasukan Permesta menghentikan permusuhan. Karena itu sampai awal 1962 pasukan ini terus bergerilya.
Namun pada awal 1962, Kumontoy dihubungi Komandan Kodim Maluku Utara dan dianjurkan agar pasukannya dialihkan secara utuh kedalam TNI untuk merebut Irian Barat. Sekitar 158 anggotanya lalu direhabilitasi dan dijadikan Pasukan Gerilya 500 (PG 500) dan ditugaskan di Pulau Waigeo dan Manokwari.
Demikian mengagumkan perjuangan mereka sehingga ketika perintah cease-fire dikeluarkan PBB, pasukan itu dijadikan inti pasukan baru yang merupakan gabungan antara PG 100 sampai PG 600.
Mayor Ali Mertopo menamakan pasukan baru itu "Detasemen Kumontoy" dengan Jonkhy R. Kumontoy sebagai komandannya.


Sebagian pasukan eks-Permesta yang pada 1961 dikirim ke berbagai kota di Jawa untuk direhabilitasi, akhirnya disusun dalam kesatuan² ARSU (Artileri Serangan Udara) yang dipimpin Mayor Soleman ("Kakek") Lumintang, serta Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) TNI Angkatan Darat dalam rangka pelaksanaan Dwikora. Mereka dipersiapkan untuk dikirim ke perbatasan Indonesia-Malaysia.
Di Kutaraja (Banda Aceh) terdapat satu baterai (kompi) pimpinan Kapten Daan Piay,
demikian juga peranan mereka di Banjarmasin dan tempat lainnya, antara lain infiltrasi ke istana Raja Brunei Darussalam di Bandar Seri Begawan.

30 Desember 1961 Panpres No.659/Th.1961 tentang mekanisme penyaluran bagi mereka yang tertangkap dalam medan pertempuran dan menyerah.
2 Januari 1962 Brigjen Andi M. Jusuf (deklarator Piagam Permesta no.42) menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam Kabinet Dwikora I.
14 Mei 1962 Abdul Qahhar Mudzakkar (Kahar Muzakhar) pemimpin pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan memproklamasikan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) hari ini tanggal 10 Dzulhidjdjah 1381 H./14 Mei 1962, sebagai "kelanjutan dari RPI yang musnah karena ditinggalkan PRRI serta Permesta yang telah menyerahkan diri kepada Pemerintah Pusat di Jakarta".
Susunannya adalah Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai Chalifah (Presiden) yang dibantu oleh beberapa orang menteri yang tersusun sbb:
1. Menteri Pertahanan      : J.W. Gerungan (Dee) (asal Minahasa) 2. Menteri Muda Pertahanan : Sanusi Daris 3. Menteri Kehakiman       : H. Djunaidi Sulaeman 4. Menteri Keuangan        : H. Djunaidi Sulaeman 5. Menteri Penerangan      : Soemarsono (asal Jawa/Yogya) 6. Menteri Pendidikan      : Kyai H. Abdul Rahman Ambo Dalle 7. Menteri Muda Pendidikan : B.S. Baranti 
Dalam susunan pemerintahannya juga disebutkan adanya jabatan Adjudan Djendral dan Adjudan yang masing² diduduki oleh Chaidir Achmad dan Amir.
Dalam susunan tersebut, tampak Jan Wellem (Dee) Gerungan sebagai Komandan Komando Daerah Pertempuran (KDP) IV Permesta untuk Sulawesi Tengah, tidak ikut menyerahkan diri bersama² dengan pasukan Permesta di Sulawesi Utara tahun 1961 sebelumnya, karena ia dan 250 orang pasukannya telah bergabung dengan DI/TII dan masuk Islam, setelah gagal dalam suatu usaha untuk melarikan diri.
Kedatangan pasukan Permesta pimpinan Gerungan di tengah² pasukan DI/TII di Sulawesi Selatan tahun 1958 (setelah ini diadakan perjanjian kerja sama antara Permesta dengan DI/TII Kahar Muzakhar) digambarkan: "Dengan kedatangan tentara Permesta dari Manado itu, membuat Kahar melondjak-londjak kegirangan menjambut kedatangan tentara Permesta itu, jang telah menempuh djarak djauh dengan segala penderitaan melintasi sungai², gunung² dan hutan² lebat. Kahar lantas memberikan tempat konsentrasi kepada tentara Permesta dan diberikan djaminan jang lajak dan tjukup memuaskan.
Sendjata² jang dibawa oleh tentara Permesta tjukup riel jang terdiri dari sendjata² model baru dan diantaranja ada BAZOKA jang mendjadi kebanggaan Kahar. Dan sementara itu, diaturlah konsepsi kerdjasama militer antara Momoc Ansharullah dengan tentara Permesta dimana TII tidak dihiraukan lagi oleh Kahar, karena memang Kahar sudah merentjanakan akan menghapus TII setelah terbentuknja Momoc Ansharullah
".
Kahar Muzakkar ditembak mati di tempat persembunyiannya tanggal 3 Februari 1965; sedangkan Dee Gerungan ditangkap pada tanggal 19 Juli 1965, diadili oleh Pengadilan Negeri, dan dijatuhi hukuman mati.
15 Juni 1962 F.J. (Broer) Tumbelaka menjadi Gubernur Sulawesi Utara (Sulutteng) hingga tanggal 18 Juni 1962.
25 Juni 1962 Setelah Pemerintahan Daerah Minahasa dipindahkan dari Manado ke Tondano pada pertengahan bulan ini, maka pada hari ini, Pemerintahan Kabupaten/Daerah Tingkat (Swatantra) II Minahasa mulai berjalan dengan resmi.

Sebelumnya, status kota Manado dijadikan Kota-Besar dengan kedudukan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II dipisahkan dari Kabupaten/Daerah Swatantra II Minahasa pada tahun 1954. Dengan peningkatan status Manado menjadi Kota-Besar, timbullah persoalan pemindahan ibukota Daerah Minahasa dari kota Manado. Hal ini berlarut² sehingga nanti pada tahun 1959 dengan melalui Parlemen RI, Pemerintah Agung di Jakarta menetapkan Tondano menjadi ibu kota dari Daerah Minahasa. Pemindahan Pemerintahan Daerah Minahasadari Manado ke Tondano telah direncanakan mulanya akan berlaku pada tahun 1961.
Tondano sendiri pada Masa Penjajahan Jepang pernah menjadi ibukota sementara pemerintahan Afdeling Manado dari bulan September 1944, yaitu pada waktu pemboman Manado memuncak, sampai pada masa kapitulasi pada bulan Oktober 1945.Afdeling Manado waktu itu bernama Manado-Ken dan Asisten-Residen disebut Kenkanrikan.
Sebelumnya pada tahun 1954 juga kota Bitung telah dijadikan pelabuhan samudera. Pembangunan Bitung menjadi pelabuhan telah dipersiapkan sejak tahun 1950. Peresmiannya nanti berlaku pada tahun 1954. Dengan adanya pelabuhan Bitung, maka Indonesia sudah memiliki 6 pelabuhan samudera. Kelima pelabuhan samudera yang lain adalah Belawan-Deli, Tanjung Priuk, Semarang, Surabaya dan Makassar.
22 Juni 1964 Surat Keputusan TNI-AD No.Pelak-II/6/1965 tanggal 22 Juni 1964 tentang Petunjuk Pelaksanaan Panpres No.659/Th.1961 tanggal 30 Desember 1961.
27 Agustus 1964 Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Operasi²nya dilakukan antara bulan Maret dan Agustus 1962, dimana dalam setiap peristiwa besar yang menyangkut pengerahan pasukan TNI, tercatat partisipasi "eks-Meta" (bekas tentara Permesta).
23 September 1964 Sistem Pemerintahan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara (Sulutteng) dikembangkan lagi sesuai potensi alam maupun manusianya serta perkembangan sistem pemerintahan yang perlu ditangani secara terpadu dibawah suatu daerah otonom yang mempunyai ruang lingkup wewenang dan tugas; dengan dikeluarkannya UU Drt. No. 13 Tahun 1964 tertanggal 23 September 1964 menjadi dua daerah otonom masing²: Daerah Tingkat I Sulawesi Utara (Sulut) dan Daerah Tingkat I Sulawesi tengah (Sulteng).
Desember 1964 Bekas tokoh² PRRI dan Permesta seperti Wilhem Pesik (ex Menpen PRRI yang menggantikan Saleh Lahede yang ditahan di Makassar), Mayor Daan E. Mogot, dan Des Alwi dalam suatu operasi khusus (Opsus) dalam rangka menuju perdamaian dengan Malaysia melalui jalur intelejen KOSTRAD. Mereka dikirim ke Malaysia dengan Brigjen L.B. Moerdani guna menjajaki perdamaian tersebut.
1 Oktober 1965 Peristiwa G-30-S/PKI meletus, dengan menculik 7 Jenderal AD, membuka mata Indonesia bahwa apa yang diperingatkan Permesta tentang komunis yang adalah musuh dalam selimut terbukti benar.
11 Maret 1966 Brigjen Andi M. Jusuf (penandatangan deklarasi Piagam Permesta no.42) bersama M. Panggabean dan Amir Machmud menerima Surat Perintah 11 Maret yang terkenal dengan nama Super Semar dari Presiden Soekarno untuk diserahkan kepada Mayjen Soeharto sebagai Pangkokamtib.
Surat Perintah ini kemudian disalahgunakan oleh pihak yang mengembannya.
12 Maret 1966 Pembubaran PKI dan ormas²nya dan dianggap sebagai organisasi terlarang di wilayah RI.
26 Juli 1966 Sehari setelah Soeharto menjadi pejabat Presiden, para tahanan militer dan sipil yang ditahan di Rumah Tahanan Militer Setiabudi, seperti Ventje Sumual, Dolf Runturambi, Maluddin Simbolon, Achmad Husein, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, dan Anak Agung Gede Agung dibebaskan dengan surat pembebasan yang dibacakan seorang jaksa bernama Adnan Buyung Nasution.
Selengkapnya, para tahanan yang ditahan/dikarantinakan di Rumah Tahanan Militer adalah sbb:
  1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara, mantan Presiden Pemerintah Darurat RI (saat Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta dibuang ke Pulau Bangka oleh Belanda), mantan Perdana Menteri RI, mantan Gubernur Bank Sentral Indonesia;
  2. Mr. Asaat, mantan pejabat Presiden Republik Indonesia;
  3. Mr. Burhanuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI;
  4. Mr. Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RI;
  5. Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri RI (meninggal dalam masa tahanan);
  6. Mr. Mohammad Roem, mantan Menlu RI;
  7. Mr. Prawoto, mantan Menteri RI;
  8. Otto Rondonuwu, ;
  9. Anak Agung Gde Agung, mantan Menlu RI;
  10. Sultan Hamid, mantan Menteri Negara RIS;
  11. Subadio, mantan Ketua PSI;
  12. Mochtar Lubis, wartawan;
  13. Haji Johannes Cornelis Princen, praktisi HAM;
  14. Bapak Mohammad Saleh;
  15. Bapak Mutaqin;
  16. Bapak Hassan, wartawan;
  17. Kolonel Zulkifli Lubis, mantan KSAD TNI;
  18. Kolonel Maluddin Simbolon, mantan Panglima TT-I/Bukit Barisan;
  19. Letkol H.N. Ventje Sumual, mantan Panglima TT-VII/Wirabuana;
  20. Letkol Achmad Husein, mantan Panglima Sumatera Barat;
  21. Mayor Nawawi, mantan Kepala Staf Wilayah Sumatera Selatan
  22. Mayor J.M.J. (Nun) Pantouw, mantan Asisten I StafKo TT-VII/Wirabuana;
  23. Mayor Dolf Runturambi, mantan Kepala Staf Gubernur Militer Sulutteng;
  24. dan beberapa orang bekas pejabat sipil lainnya.
1967

Setelah dibebaskan dari Rumah Tahanan Militer, Ventje Sumual, Achmad Husein, Maluddin Simbolon, M. Saleh Lahede, R. Soetarno, Bing Latumahina, A.N. Nusjirwan, M. Biga, dll mendirikan PT Konsultasi Pembangunan dengan usaha di bidang jasa, kosultan, hukum, rekayasa dan kontraktor.


Letkol Hi.Rauf Mo'o (deklarator Piagam Permesta no.37) menjadi Walikota Manado (sampai 20 Maret 1971).

Walikota Manado era awal dekade 1990-an, Ir. Najoan Habel Eman dahulunya juga adalah bekas pelajar Permesta.
Di Sulawesi Selatan, Mayor (Purn.) Daeng Patompo, seorang pendukung cita² Permesta, pernah menjabat sebagai Walikota Makassar dan berhasil meraih "Sam Karya Nugraha".
20 Februari 1967 Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir. Soekarno hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal TNI Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966. Penyerahan secara sederhana ini dilakukan secara sederhana dan dihadiri oleh seluruh anggota Kabinet Ampera.
2 Maret 1967 Mayjen. Hein Victor Worang dilantik menjadi Gubernur Sulawesi Utara berdasarkan SK Presiden No. UP 6/1/28-212 tanggal 23 Februari 1972. Jabatan gubernur dijalankan hingga tanggal 6 Juni 1978 dan digantikan oleh Brigjen Welly Lasut G.A.
Pada masa kepemimpinan Gubernur H.v. Worang, berakhirlah suatu psychose ketakutan yang merupakan ekor dari masa pergolakan Permesta di wilayah ini.
12 Maret 1967 Pelantikan Jenderal TNI Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia, berdasarkan Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967.
8 Agustus 1967 ASEAN (Association of South East Asian Nations)/Perbara (Persatuan Bangsa² di Asia Tenggara) dideklarasikan di Bangkok dalam Deklarasi Bangkok oleh para Menteri Luar Negeri negara Filipina, Indonesia, Malaysia, Muangthai (Thailand), dan Singapura.

Ventje Sumual ikut berperan aktif membantu pimpinan Orde Baru bersama Aspri - Presiden RI bidang Khusus Keamanan & Politik (OPSUS) dalam penjajakan pembentukan ASEAN ini.
25 Oktober 1967 Pejabat Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI Soeharto, memulai rangkaian kunjungan kerja ke berbagai daerah. Daerah Sulawesi Utara - Minahasa adalah tujuan kunjungan pertamanya atas saran seorang Staf Ahli Presiden, Daan E. Mogot.
19 Maret 1968 Danny A. Maukar, yang menembaki Istana Presiden di Jakarta tanggal 9 Maret 1960, resmi dilepaskan dari hukuman mati atas permintaan grasi dari KSAU Oemar Dhani dan pengacaranya Hadeli Hasibuan kepada Presiden Soekarno serta kemudian kepada Presiden Soeharto.
27 Maret 1968 Pelantikan Jenderal TNI Soeharto, pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, sebagai Presiden Republik Indonesia.
6 Juni 1968 Prof. Soemitro Djojohadikusumo (Mantan Menhub PRRI) menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan I.
1969 prof_inkiriwang Prof. Mr. G.M.A. Inkiriwang,SH (mantan Ketua Parlemen & Menteri Kehakiman PRRI - Permesta) menjadi caretaker Rektor UNSRAT Manado mulai tanggal 1 Januari 1969 sampai bulan Juli 1973. Sebelumnya, ia menjalani tahanan/karantina politik di Pacet - 60 km dari Surabaya, Jawa Timur tahun 1961-1967.

Selain itu beberapa universitas lainnya yang dapat dicatat di sini yang bekas Rektor Universitasnya dari pemuda Permesta adalah Universitas Tadulako di Palu - Sulteng, Universitas Kendari - Sultra serta Universitas Nusa Cendana di Kupang - NTT.

Abdul Muis, seorang Guru Besar Universitas Hasanuddin dan Universitas Terbuka, adalah bekas pemimpin harian Permesta.
1972 oe_engelen ex. dokter tentara berpangkat Letnan Kolonel, Oscar E. Engelen (bekas Ketua Ikatan Perwira TT-VII dan deklarator Piagam Permesta no.33 dan anggota Dewan Tertinggi Permesta), menjadi Rektor Universitas Kristen Djaya (UKRIDA) sampai tahun 1987.

Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses (deklarator Piagam Permesta no.5) yang pernah menjadi dosen di Unhas, pada awal dekade 90-an menjadi Rektor Universitas Kristen Paulus di Ujung Pandang.
1 Januari 1973 Prof. Mr. G.M.A. Inkiriwang, SH menjadi pejabat Rektor UNSRAT Manado (jabatan ke-2) hingga Juli 1973. Ia juga menjadi caretaker Rektor IKIP tahun 1971-1973.
1974 Prof. Mr. G.M.A. Inkiriwang, SH terpilih menjadi Rektor IKIP Negeri Manado sampai tahun 1977. IKIP Negeri Manado adalah bekas PTPG Tondano yang juga didirikannya pada masa awal pergolakan daerah (1955).
10 April 1975 Kota Bitung statusnya meningkat menjadi Kota Administratif Bitung melalui PP No. 4/Tahun 1975, dan terpisah dari Kabupaten Minahasa, dengan pemekaran wilayah ex Kecamatan Bitung menjadi tiga yaitu Kecamatan Bitung Utara, Bitung Tengah, dan Bitung Selatan. Sebagai walikota pertamanya adalah W.A. Worang sampai dengan tanggal 7 Mei 1979 dan digantikan oleh Drs Karel Lasut Senduk. Sebagai Sekretaris Kota yang pertama adalah Drs. F.H. Roeroe hingga tanggal 5 Juli 1976.
23 Desember 1976 Pemancar TVRI pertama di Sulawesi Utara yang terletak di puncak Tikala Manado, diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Utara waktu itu Mayjen H.V. Worang. Untuk pertama kalinya masyarakat Sulawesi Utara khususnya kota Manado dapat menonton Siaran TVRI dalam hal ini Siaran yang direlay dari TVRI Jakarta (melalui Satelit Palapa). Tanggal 28 Agustus 1978 TVRI Stasiun Manado mulai melaksanakan siaran percobaan (siaran hitam/putih), yang operasional siarannya dilaksanakan oleh 25 orang lulusan Training Center TVRI Jakarta.
Nanti pada tanggal 7 Oktober 1978 TVRI Stasiun Manado diresmikan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan, Sutikno Lukitodisastro.
29 Maret 1978 Jenderal Andi M. Jusuf (deklarator Piagam Permesta no.42) menjadi Panglima ABRI/ Menhankam dalam Kabinet Pembangunan III.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Novryxc - Pemuda Petra Kinilow | Cacatan IT