21/08/11

Masa Awal Pergolakan Permesta (Pembangunan I)

2 MARET 1957 Letkol Sumual

Jumat dinihari tanggal 2 Maret 1957, sejumlah pejabat, tokoh politik dan tokoh masyarakat di kota Makassar dijemput kendaraan yang dikawal militer (sekitar 49 tokoh & 2 wartawan) untuk menandatangani piagam yang telah disusun oleh Panitia Perwira TT-VII yang lalu, untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini hari.

Pukul 3 dinihari rapat dibuka oleh Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol H.N. Ventje SUMUAL yang kemudian membaca naskah Proklamasi SOB

Inilah Proklamasi SOB (Staat van Oorlog en Beleg = negara dalam keadaan perang & darurat perang) PERMESTA tersebut, yang memulai babak baru dalam sejarah Indonesia Bagian Timur:



P R O K L A M A S I



Demi keutuhan Republik Indonesia, serta
demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia
pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian
Timur pada chususnja, maka dengan ini kami njatakan
seluruh wilajah Territorium VII dalam keadaan darurat perang
serta berlakunja pemerintahan militer sesuai dengan
pasal 129 Undang - Undang Dasar Sementara , dan
Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari
Republik Indonesia.

Segala peralihan dan penjesuaiannja dilaku-
kan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam
arti tidak ulangi tidak melepaskan diri dari Republik
Indonesia.

Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta
kita dan menurunkan berkat dan hidajatNja atas
ummatNja.-



Makassar, 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorial VII

tertanda

Letkol : H.N.V. Sumual
Nrp : 15958



Penandatanganan Piagam Permesta
Proklamasi Permesta
Pada saat Proklamasi Permesta
Dari kiri ke kanan: Letkol HNV Sumual, Mayor Gerungan,
Mayor Dolf Runturambi, Letkol Saleh Lahede.
Proklamasi Keadaan SOB ini berdasarkan pasal 129 UUD Sementara yang memberikan keleluasaan kepada panglima militer di daerah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang/militer) dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 (Peraturan yang memberlakukan SOB sehubungan dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun itu).
Selanjutnya Letkol M. Saleh Lahede selaku Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST), membacakan Piagam Perdjuangan Semesta, yang lebih dikenal sebagai Piagam PERMESTA , yang menjadi landasan pelbagai program pembangunan yang segera dilancarkan.
Pukul 07:00 keluar pengumuman pertama Letkol Sumual sebagai Kepala Pemerintahan Militer mengenai organisasi² kepemimpinan dibantu dua staf.
Staf pertama: sebuah staf militer (yang terdiri atas staf TT-VII/Wirabuana yang ada),
Staf kedua: sebuah staf Pemerintahan yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede sebagai Kastaf, Mayor Eddy Gagola sebagai Wakil Kastaf, & Sekretariat yang dipimpin Kapten W.G.J. Kaligis.

Hubungan dengan seluruh daerah di wilayah Wirabuana (Indonesia Timur) tetap terpelihara, sekalipun menjelang pertengahan 1957, beberapa daerah telah dipengaruhi oleh pemerintah pusat serta MBAD.
Melalui jaringan pemerintah daerah serta organisasi pemuda, wanita, mahasiswa dan pers, Permesta merencanakan pembangunan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Penerangan² melalui pers dan RRI dilancarkan segera setelah upacara di Gubernuran itu.
Sejak itu berkumandang semboyan "Sekali Dua Maret, Tetap Dua Maret" yang diciptakan oleh Letkol Saleh Lahede, dan singkatan Permesta untuk Piagam "Perjuangan Semesta" diciptakan dan dipopulerkan oleh G. Kairupan, seorang pejabat Kantor Penerangan kota Makassar. Kedua semboyan itu senantiasa terdengar melalui RRI Makassar, Manado, dan Ambon.


Sejak hari ini, Kepala Pemerintahan Letkol Ventje Sumual mengambil langkah darurat memulihkan keamanan dan ketertiban. Jam malam dinyatakan mulai berlaku pukul 22.00. Pengiriman uang melalui bank ke luar wilayah TT-VII/Wirabuana dinyatakan terlarang, kecuali dengan ijin khusus. Juga barang² kebutuhan pokok masyarakat dilarang dibawa ke luar wilayah itu. Para pengusaha pun dilarang mengadakan penimbunan atau menaikkan harga².
3 Maret 1957
Rapat Permesta
Salah satu rapat Permesta.
Dari kiri: Henk Rondonuwu (berdiri), Letkol Saleh Lahede,
Letkol Andi Mattalatta, Mayor CPM Her Tasning.
Rapat di Balai Perwira oleh Tim Asistensi Staf Pemerintahan Permesta yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede (yang terbagi atas 10 seksi). Dalam rapat ini dijelaskan bahwa tindakan 2 Maret bertujuan utama untuk mengatasi kekacauan di wilayah itu.
Hari ini juga Letkol Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana & Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur mengirim laporan tertulis kepada KSAD di Jakarta mengenai tindakan 2 Maret tersebut yang yang tetap mengakui Jakarta sebagai pemimpin yang sah. Ia juga melaporkan bahwa ia telah meningkatkan ketiga wilayah hukum Resimen Infanteri TT-VII/Wirabuana menjadi Komando Daerah Militer (KDM), yaitu KDM Sulutteng dengan Mayor D.J. Somba sebagai komandan, KDM Maluku/Irian Barat dengan Mayor Herman Pieters sebagai komandan, KDM Nusa Tenggara dengan Mayor Minggu sebagai komandan; sedangkan Sulawesi Selatan dirangkap oleh Gubernur Andi Pangerang dengan pangkat Letkol Tituler. Keempat tokoh ini juga merangkap sebagai Gubernur Militer di masing² daerah sesuai dengan ketentuan SOB (Staat von Oorlog en Beleg = Negara dalam Keadaan Perang & Darurat Perang).
4 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan terhadap Team Asistensi Staf Pemerintahan Permesta, yang meliputi baik anggota² militer maupun sipil.
Tim Asistensi ini dibentuk untuk tugas sehari² dalam Staf Pemerintahan, yang dipimpin oleh Kepala Staf Pemerintahan Letkol M. Saleh Lahede, yang dibagi dalam 10 seksi, yaitu:
1. Seksi Politik, Tata Negara, Hukum dan Tata Tertib dipimpin Letkol M. Saleh Lahede Sendiri.
2. Seksi Moneter dipimpin Kapten Arie W. Supit.
3. Seksi Ekonomi dan Pembangunan dipimpin Baharuddin Rachman.
4. Seksi Makanan Rakyat, Bahan² Vital, dan Pertanian dipimpin Sampara Daeng Lili.
5. Seksi Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Perburuhan dipimpin Letkol Oscar E. Engelen.
6. Seksi Perhubungan, Pekerjaan Umum, Tenaga, dan Irigasi dipimpin Kapten J.H. Tamboto.
7. Seksi Penerangan dan Informasi dipimpin Kapten Bing Latumahina.
8. Seksi Koordinasi Keamanan dipimpin Mayor J.W. (Dee) Gerungan.
9. Seksi Agama dipimpin Kapten Anwar Bey.
10. Seksi Pemuda dan Veteran dipimpin A.N. Turangan.
Rapat yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual dengan seluruh stafnya (yang hadir ±120 perwira & bintara). Ia menekankan bahwa tindakan 2 Maret sama sekali bukan tindakan kudeta.

Hari ini juga, KSAD Mayjen A.H. Nasution menginstruksikan kepada Letkol R. Sudirman - Panglima KoDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara), yang memimpin 9 batalyon dari Divisi Brawijaya di Sulawesi yang diperbantukan untuk menumpas pemberontakan DI/TII), untuk tidak perlu mengambil tindakan apapun terhadap Letkol Ventje Sumual dan Gerakan Permesta-nya.
5 Maret 1957 Pemerintah Pusat mengirimkan utusan menemui Letkol Sumual di Makassar guna membicarakan masalah Permesta.

Dukungan dari kelompok² pemuda terutama melalui Dewan Pemuda Se-Sulawesi, yang hari ini menyatakan dukungannya bagi proklamasi Permesta juga mengganti namanya menjadi Dewan Pemuda Indonesia Timur.
7 Maret 1957 Hari ini diumumkan di Manado, bupati Minahasa Laurens F. Saerang sudah menemui Jan Timbuleng, Komandan Pasukan Pembela Keadilan (PPK) yang mengacau di daerah ini terutama di daerah Minahasa Selatan. Perlu diketahui, bahwa Timbuleng adalah ipar dari Laurens F. Saerang.
Pada tanggal 8 Maret 1957 (keesokan harinya), Laurens F. Saerang menyertai Jan Timbuleng dan istrinya ke suatu pertemuan dengan Mayor D.J. Somba, dan dirundingkan pengaturan penyerahan dan rehabilitasi 3.000 orang pengikut PPK. Penyerahan Jan Timbuleng disebut² Letkol Ventje Sumual dalam jumpa pers tanggal 13 Maret sebagai suatu contoh hasil yang bisa diharapkan dari kebijaksanaan keamanan kepada gubernur militer yang diangkat belum lama berselang.
(Walaupun begitu, Jan Timbuleng dan pasukannya kemudian akhirnya kembali ke hutan menjelang akhir tahun. Ia dikatakan tidak merasa puas dengan perlakuan yang diberikan kepadanya dan orang²nya).

Doktrin Eisenhower (dari Presiden AS waktu itu- Dwight Eisenhower) dijadikan UU oleh Senat Kongres AS sebagai sikap politik anti-komunis. Doktrin ini membawa AS untuk terlibat lebih jauh lagi dalam perpolitikan Indonesia untuk menjatuhkan komunis dengan memberi bantuan senjata kepada pihak² yang meminta mereka untuk melawan komunisme internasional.
(Permesta pada masa Pergolakan akhirnya menerima bantuan senjata tersebut (dalam "PRRI"), namun menyatakan bahwa semuanya dibeli dengan cara barter).
8 Maret 1957 Dilantiknya 111 orang anggota Dewan Pertimbangan Pusat Permesta yang dipimpin Residen Andi Sultan Daeng Raja (Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi). Dewan Petimbangan Pusat (DPP) Permesta ini telah diangkat sehari sebelumnya.

Gubernur Sulawesi, Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani), secara formal dilantik sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara, dengan kekuasaan penuh bagi kebijaksanaan keamanan daerah itu.
10 Maret 1957 Rapat umum di Lapangan Karebosi Makassar yang diselenggarakan oleh Tim Assistensi Staf Pemerintahan Permesta dan DPP Permesta untuk menyambut Piagam Permesta, yang dihadiri oleh sekitar 100.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada 8 pembicara yang berorasi di rapat umum ini.
11 Maret 1957 Hari ini diadakan pelantikan di Manado terhadap Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulawesi Utara-Tengah oleh Panglima TT-VII/Wirabuana - Kapala Pemerintahan Militer Indonesia Timur dalam keadaan darurat perang (SOB).

Hari ini juga, 387 orang bekas KNIL dilantik menjadi TNI oleh Mayor D.J. Somba, yang telah mengusulkan kepada MBAD agar kekuatan RI-24 ditingkatkan menjadi dua batalyon. Ia mendapat izin untuk membentuk kira² dua kompi baru dari bekas serdadu KNIL di daerah Minahasa.
Tadinya Minahasa merupakan daerah pengerahan utama bagi KNIL dan taksiran jumlah veteran KNIL di daerah ini berkisar antara 18.000 sampai 30.000 orang.
12 Maret 1957 Mahkama Agung RI menyatakan bahwa Konsepsi Presiden tentang Kabinet Kaki Empat tidak menyalahi Undang² Dasar (Konstitusi).
14 Maret 1957 Satu setengah jam setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (dan Kabinet Ali II nya) menyerahkan mandatnya, maka Presiden Soekarno menyatakan bahwa seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia "DALAM KEADAAN DARURAT PERANG" (SOB=Staat van Oorlog en Beleg).

Salah satu sebab utama dari keadaan ini adalah karena Proklamasi SOB yang telah dikumandangkan Panglima TT-VII/Wirabuana dalam wilayah Indonesia Timur, yang adalah komando daerah terluas di Indonesia saat itu (mencakup setengah wilayah NKRI) yang seharusnya hanya boleh dikumandangkan oleh presiden suatu negara.

Hari ini, suatu delegasi yang ditugasi Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual dan disetujui DPP Permesta, pergi ke Jakarta untuk menjelaskan latar belakang proklamasi 2 Maret kepada Presiden dan pemerintah pusat. Delegasi ini dipimpin oleh Henk Rondonuwu dan Ny. Mathilda (Milda) Tololiu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar), Haji Makareng Daeng Manjarungi, Sun Bone (Masyumi), Achmad Siala (PNI), J. Latumahina dan Andi Burhanuddin (PKR dan pejabat kantor Gubernur).
dektrit Darurat Perang
Dektrit Darurat Perang
15-22 Maret 1957 Rapat para Panglima Territorium dan SUAD di MBAD di Jakarta, yang dihadiri semua panglimanya kecuali Letkol Achmad Husein yang berhalangan. Konperensi itu dimulai dengan kunjungan kehormatan pada Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Pembicaraan dalam pertemuan itu berkisar sekitar pengembangan dan perbaikan tentara, dan melindunginya dari pengaruh politik, yang hanya menggangu kesatuan tentara. Dalam rapat itu, KSAD Mayjen A.H. Nasution memutuskan untuk membubarkan TT-VII/ Wirabuana dan membaginya menjadi 4 KDM (Kodam) terpisah seperti yang telah dilakukan Letkol Ventje Sumual sebelumnya, walaupun KSAD menyatakan menyetujui Piagam Permesta.

Pada penutupan pertemuan itu, juru bicara Tentara mengomentari situasi di TT-VII: "...MBAD mengerti dan memahami "proklamasi 2 Maret" itu, tetapi demi menjaga hukum dan ketertiban tak bisa membenarkan cara yang ditempuh. MBAD berpendapat, keinginan dan hasrat proklamasi itu bisa disalurkan melalui lembaga² yang ada."
Sementara KSAD A.H. Nasution berunding dengan Letkol Ventje Sumual secara formal, Kolonel Sukendro, Asisten I (Intelijens) KSAD melancarkan operasi intelijennya. Para perwira bawahan dipecah-belah, emosi kesukuan dibakar, tindakan palsu dilontarkan. Banyak orang yang menjadi bingung dan guncang. Persatuan di antara para perwira berbagai suku bangsa itu mulai retak.
20 Maret 1957 Panglima TT-VII/Wirabuana Letkol Ventje Sumual mengeluarkan rencana pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi:
1. Sulawesi Selatan/Tenggara --> ibukota Makassar
2. Sulawesi Utara/Tengah --> ibukota Manado
3. Maluku --> ibukota Ambon
4. Irian Barat --> ibukota Soasiu
5. Nusa Tenggara Barat --> ibukota Singaraja
6. Nusa Tenggara Timur --> ibukota Kupang

Surat Keputusan Panglima/Penguasa Militer TT VII Wirabuana No.Kpts.0139/36/1957 tentang pembagian Indonesia Bagian Timur dalam enam provinsi otonom dan No. Kpts. 0140/36/1957 dan No. Kpts. 0141/36/1957 yang dikeluarkan di Makassar masing² tentang pembagian wilayah provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara) menjadi dua yaitu Barat dan Timur serta provinsi Sulawesi menjadi Utara dan Selatan.
21 Maret 1957 Seluruh anggota Tim MBAD Korps Perwira SSKAD (sebuah korps reuni siswa SSKAD) mengadakan rapat yang menilai bahwa masalah pergolakan daerah mempunyai aspek sangat penting yang justru diabaikan dan dianggap sepele oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution dalam keputusan dan tindakannya. Hasil rapat ini kemudian menimbulkan kemarahan KSAD Mayjen A.H. Nasution. Petisi 45 orang perwira tersebut dipaksa untuk mencabut pernyataan tersebut. Hanya 10 orang yang bertahan atas petisi tersebut.
April 1957 Sesuai dengan Piagam Permesta, Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) Permesta menyusun delegasi untuk bertemu dengan para pejabat di Jakarta. Henk Rondonuwu bertindak sebagi ketua delegasi dengan Andi Burhanuddin, Achmad Siala, dan Ny. Towoliu-Hermanses sebagai anggotanya. Delegasi ini ternyata bisa bertemu dengan Presiden Soekarno dan Bung Hatta, tetapi tidak sempat bertemu dengan Kabinet yang saat itu telah demisioner menyusul berita Peristiwa Proklamasi Permesta - 2 Maret di Makassar tersebut. Kepada Presiden, delegasi DPP mengusulkan agar 70% anggota Dewan Nasional yang akan dibentuknya itu terdiri atas wakil² daerah. Selain itu sangat diharapkan agar Dwitunggal kembali rujuk untuk memimpin bangsa Indonesia selanjutnya. Delegasi juga menyampaikan undangan kepada Presiden dan Bung Hatta untuk menghadiri Kongres Bhinneka Tunggal Ika yang akan diselenggarakan pada bulan Mei 1957 mendatang.
Dalam kesempatan ini, tentu saja delegasi mengalami hambatan dari pihak yang kurang senang dengan perkembangan di Indonesia Timur. Malah beberapa tokoh asal daerah Sulawesi menerima surat kaleng yang mengancam jiwa mereka.

Pada awal bulan April, Tokoh Utama Permesta Letkol Ventje Sumual tiba di Manado. Di lapangan Mapanget, rakyat berduyun² menyambutnya. Seorang gadis dengan pakaian khas Minahasa mengalunginya dengan rangkaian bunga sedang para pemuda menyambutnya dengan tari perang cakalele. Dengan pengawalan ketat iring²an mobil Panglima TT-VII/Tokoh Utama Permesta tiba di manado melalui ribuan rakyat serrta anak² sekolah yang berjajar di pinggir jalan sepanjang Mapanget-Manado sambil melambai²kan bendera merah-putih dan meneriakkan pekik "Hidup Permesta". Siang itu juga dilangsungkan upacara pelantikan Mayor D.J. Somba sebagai Gubernur Militer Sulutteng dan Mayor Dolf Runturambi sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Sulutteng. Sore harinya diadakan pertemuan besar yang dihadiri oleh semua tokoh² militer, sipil dan masyarakat Sulutteng yang telah diundang.
1 April 1957 Gubernur Sulawesi Andi Pangerang diangkat oleh Kepala Pemerintahan Militer Permesta Letkol Ventje Sumual sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan-Tenggara dengan pangkat Letkol tituler TNI.
9 April 1957 Presiden Soekarno mencoba membentuk kabinet baru setelah Kabinet Ali II meletakkan jabatan pada tanggal 4 Maret yang lalu. Setelah Suwirjo (dari PNI) gagal membentuk kabinet, maka Soekarno mengajak KSAD Mayjen A.H. Nasution ke Cipanas - Bogor untuk bersama² membentuk kabinet itu.
kabinet_djuanda
Kabinet Djuanda (Kabinet Karya)
Kabinet Darurat Ekstraparlementer ini tidak tergantung pada dukungan partai². Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri-nya seorang tokoh tak berpartai - yaitu Ir. H. DJUANDA. Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan Bersenjata.
Program Kabinet Karya disebut pancakarya, yaitu:
1. membentuk Dewan Nasional
2. normalisasi keadaan Republik Indonesia
3. melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
4. perjuangan Irian Barat
5. mempergiat pembangunan

Kedudukan Ir. Djuanda juga pada hakikatnya tidak terlalu kuat. Yang menentukan perkembangan yang sesungguhnya di pusat adalah Presiden Soekarno (Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi) dan KSAD Mayjen A.H. Nasution.
14 April 1957 Lanjutan Sidang Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Permesta ke-4 diadakan hari ini. Dalam risalah sidang ini, ada keluhan bahwa Kepala Badan Urusan Kopra (BUK), Drs. Baharuddin Rachman, atas wewenang sendiri telah menjual kopra di luar negeri dengan harga yang lebih rendah daripada jika dijual di pulau Jawa, dan beberapa bulan kemudian Drs. Baharuddin diam² lari ke Singapura dengan membawa keuntungan yang diperolehnya.
16 April 1957 Lanjutan Sidang Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Permesta ke-7 diadakan hari ini. Dalam risalah sidang ini, topik pembicaraan adalah perundingan dengan DI/TII pimpinan Kahar Mudzakkhar.
26-28 April 1957 Administrator² militer dan gubernur² sipil dari seluruh Indonesia mengadakan rapat di Jakarta untuk membicarakan penyelesaian masalah yang dihadapi negeri ini. Mereka menyimpulkan, bila kerja sama antara Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta bisa terlaksana, beberapa penyelesaian mengenai persoalan nasional mungkin akan dicapai. Mereka juga menganjurkan supaya Dewan Nasional yang telah diusulkan tersusun dari wakil² provinsi, supaya suatu kebijaksanaan yang konsekuen dijalankan terhadap para pemberontak, supaya administrasi diperbaiki dan korupsi diberantas, supaya pembangunan provinsi dipercepat, dan supaya soal² di dalam TNI diselesaikan dengan cara damai, tanpa mengabaikan "tata tertib militer."
Mei 1957 Upaya pembersihan Permesta diadakan terhadap semua anggota pimpinan PKI / orang² komunis di Minahasa dan anak organisasinya, termasuk beberapa pemuka PNI yang disebut golongan ASU, atas perintah Gubernur Militer Sulutteng, berdasarkan bukti² yang ada tentang usaha mereka menentang Permesta. Kemudian mereka ini dikarantinakan di Gorontalo. Anggota² PKI dan PNI-ASU yang masih bebas berkeliaran terus diikuti dan bila terbukti bahwa mereka juga membahayakan, mereka akan segera ditahan. Kemudian organisasi PKI dilarang dan dianggap sudah tidak ada lagi oleh Permesta pada beberapa bulan mendatang.
Namun, gebrakan Permesta terhadap² orang² komunis ini justru menimbulkan reaksi keras di tingkat nasional. Kemelut politik mulai terjadi terutama di tingkat pemerintah pusat. Karena gerakan Permesta dipelopori oleh tokoh² militer, dengan sendirinya menimbulkan pula friksi di kalangan militer ketika itu.
Puncaknya kemudian, adalah Letkol Ventje Sumual dibebaskan dari jabatannya sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana, dengan dihapuskannya jajaran TT-VII dari strategi komando TNI AD.

Bulan ini, Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dapat disebutkan disini juga mengadakan kunjungan ke daerah Minahasa.
5 Mei 1957 Pengumuman dalam komunike TNI tanggal 5 dan 27 Mei dimana diputuskan bahwa Komando TT-VII /Wirabuana (akan ditiadakan) dan KoDPSST (Komando Daerah Pemgamanan Sulawesi Selatan-Tenggara) akan disatukan dalam satu komando, dibawah pengawasan KSAD, dan sebagai akibatnya, Letkol H.N.V. Sumual dan Letkol Sudirman akan dipindahkan ke jabatan lain, yang belum ditentukan. Juru bicara TNI, Letkol Rudy Pirngadie mengatakan bahwa TNI akan meneruskan rencananya untuk mengadakan reorganisasi teritorial, dengan membagi Indonesia Timur menjadi 4 daerah militer: Sulawesi Selatan dan Tenggara, Sulawesi utara dan Tengah, Maluku dan Irian Barat, dan Nusa Tenggara. Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Petta Rani, ditunjuk sebagai gubernur militer Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan pangkat tituler kolonel, yang mulai berlaku sejak 1 April 1957. Penunjukan gubernur militer di daerah² lainnya masih dalam pertimbangan, begitulah komunike itu diakhiri.
6 Mei 1957 Presiden Uni Soviet, Vorosylov, pemimpin Komunis Internasional berkunjung di Indonesia sampai tanggal 19 Mei 1957, memastikan bahwa Komunis Internasional mendukung Soekarno, antara lain dengan mengirim persenjataan dan menumpas Permesta yang anti–Nasakom, anti-Komunis.
8-12 Mei 1957 Kongres Bhinekka Tunggal Ika untuk memenuhi Piagam Permesta, dengan panitia yang dipimpin oleh Henk Rondonuwu, dan ada 122 orang yang hadir (47 dari Sulsel, 12 dari Sulteng, 6 Gorontalo, 6 Bolmong, 6 Minahasa, 6 Manado, 6 Satal, 6 Malut, 5 Maluku Tengah dan Selatan, 7 Ambon, 8 Irian Barat, 7 Bali, 1 Flores.), dari 30 kabupaten se-Indonesia Timur, wakil² dari kodya Makassar, tokoh² asal Papua, para anggota DPP Permesta, wakil² daerah di DPR (di Jakarta) dan Konstituante (di Bandung), yang mana seluruhnya berjumlah sekitar 1500 orang (merupakan pertemuan terbesar pertama di Indonesia Timur waktu itu). Undangan juga dikirim kepada para pejabat di Jakarta & para gubernur se-Indonesia. Presiden Soekarno yang sebelumnya menyanggupi akan hadir, ternyata tidak hadir. Bung Hatta mengirimkan prasarannya melalui rombongan pimpinan adat Sumatra Barat, namun rombongan tersebut ditahan di Bandar Udara Kemayoran oleh KMKB Jakarta. Beberapa pemimpin yang juga diundang namun tidak hadir antara lain Perdana Menteri Ir. Djuanda, Letjen T.B. Simatupang (bekas KSAP), Kolonel M. Simbolon, Letkol Ahmad Husein, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang, Mayor M. Jusuf (padahal sudah dimasukkan dalam acara untuk berbicara pmengenai persoalan keamanan). Beberapa rombongan dari Ibukota Jakarta yang akan ke kongres tersebut juga ditahan.
Para delegasi tersebut dibagi dalam seksi² yang pada dasarnya didasarkan pada Piagam Permesta.

Dalam rancangan mengenai pembangunan yang dirumuskan dalam kongres, ditetapkan adanya rencana jangka pendek dan jangka panjang.
Rencana jangka pendek terutama bertujuan menggerakkan industri rakyat seperti penggaraman, modernisasi alat penangkap ikan, pengolahan sabuk kelapa, benang tenun, penggergajian kayu, pembuatan genteng, alat² dari kulit, pembuatan perahu, pabrik sabun, penyelaman mutiara, berbagai minyak cengkeh, dan tembakau rakyat.
Rencana jangka panjang meliputi pembangunan pembangkit tenaga listrik, pabrik² tekstil, minyak kelapa, semen, kapal, belerang, rokok, assembling kendaraan bermotor, pertambangan nikel di Pomala dan Sanggalopi, besi di Sumbawa, aspal di Buton, emas, perak, niel, bauksit, asbes, minyak tanah, dan lain sebagainya.
Rencana lain yang dihasilkan Kongres Bhinneka Tunggal Ika dari Seksi Pertahanan, berjudul "Doktrin Pertahanan Wilayah Indonesia Bagian Timur". Ditinjau dari segi strategi militer, Indonesia Bagian Timur menduduki posisi penting untuk perjuangan Irian Barat. Selain itu, diperlukan juga kewaspadaan agar konflik antara Blok Timur (komunis) dan Blok Barat tidak menjalar ke wilayah ini sehubungan dengan letaknya yang berbatasan dengan negara² yang terikat dengan Blok Barat (Filipina dan Australia). Untuk itu, sangat diperlukan satu komando untuk seluruh Wilayah Indonesia Timur. Sebab itu TT-VII/Wirabuana harus dipertahankan (Wilayahnya mencakup 4 provinsi: Sulawesi, Maluku, Kep.Sunda Kecil, Irian Barat).
Dari segi ekonomi, dokrin pertahanan tersebut mengandalkan pembangunan ekonomi yang bermaksud agar daerah ini mandiri (selfsupporting), dalam hal ini bahan² vital yang akan juga membuka lapangan kerja baru.

14 Mei 1957 Direktur CIA, Allan Dulles dalam rapat National Security Council (NSC) Amerika Serikat melaporkan bahwa proses dis-integrasi di Indonesia telah terjadi, dimana hanya Pulau Jawa saja yang masih dikendalikan oleh pemerintah pusatnya.
State Departement AS mengirim Gordon Mein, Wakil Direktur kantor Urusan Pasifik Barat Daya, ke Jakarta untuk meneliti kebenaran berita disintegrasi tersebut. Dua hari di Jakarta, Gordon Mein mengirim laporan, membantah teori disintegrasi tersebut.
18 Mei 1957 Rp 15.000.000 dipinjam dari Bank Indonesia Cabang Manado oleh Permesta untuk mendanai beberapa proyek pembangunan. Ada juga laporan bahwa Rp 12.000.000 telah diambil oleh Permesta dari Bank Indonesia Cabang Ambon.
20 Mei 1957 Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual secara resmi mengadakan perjanjian pinjaman darurat sebesar Rp.100.000.000 dengan Bank Indonesia Cabang Makassar, sebagai dana pembangunan Indonesia Timur.

Pada hari ini juga dikeluarkan perintah kepada semua Daerah Tingkat II di wilayah Wirabuana (enam provinsi) untuk membentuk Panitia Pembangunan Daerah yang diketuai oleh kepala daerah dengan 10 anggota (tokoh² Ormas, partai dan militer). Panitia ini bertugas melaksanakan perbaikan pembangunan di daerah berdasarkan semangat gotong-royong, seperti perbaikan jalan² dan sebagainya yang langsung dapat dipahami dan dirasakan faedahnya oleh rakyat banyak. Untuk itu, setiap kabupaten di Indonesia Timur menerima jatah 2 juta rupiah untuk proyek² pembangunan yang direncanakan daerah² bersangkutan.
Misalnya di Sulawesi Selatan, PLTD (Pusat Listrik Tenaga Diesel) Makale, Tana Toraja, dibangun dengan dana Permesta. Demikian pula pasar² seperti di Matoangin (Makassar), Markas Resimen 23 di Pare-pare, pusat latihan infanteri di Bilibili, depot batalion di Malino, dan Markas Resimen Hasanuddin di Jalan Lanto Daeng Pasewang.
Kemudian, setiap provinsi diwajibkan menyusun rencana pembangunan lima tahun sesuai dengan ketetapan dalam Piagam Permesta dan keputusan Kongres Bhinneka Tunggal Ika. Dana pembangunan diperoleh melalui ekspor kopra wilayah Sulawesi Utara, Malaku Utara dan beberapa tempat lain. Seperti ditentukan dalam Piagam, daerah² yang tidak memiliki komoditi ekspor, ditunjang daerah² lainnya, sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara merata.
22 Mei 1957 Rp 1.000.000 dipinjam dari Bank Indonesia Cabang Makassar oleh Permesta untuk mendanai beberapa proyek pembangunan. Ada laporan bahwa adanya penyalangunaan uang tersebut. Beberapa orang yang berhubungan dengan gerakan Permesta kelihatannya menjadi makmur.
26 Mei 1957 KDMSST (Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan/Tenggara) dengan Panglimanya Letkol Andi Mattalatta & Kastaf Mayor CPM Hairuddin Tasning, diubah menjadi Komando Darah Militer (KDM) XIV/ Hasanuddin terpisah dari jajaran TT-VII Wirabuana oleh MBAD.
27 Mei 1957 Komando Daerah Militer (KDM) XVI/Udayana terbentuk, terpisah dari jajaran TT-VII/Wirabuana.
30 Mei 1957 KSAD Mayjen A.H. Nasution tiba di Makassar hari ini untuk melantik Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan-Tenggara (KDM-SST).
1 Juni 1957 KDM-SST secara resmi dibentuk, dengan Letkol Andi Mattalatta sebagai panglima, dan Mayor Her Tasning sebagi pejabat kepala staf. Gubernur Militer SST Andi Pangerang dan Kolonel Sudirman menghadiri upacara itu; Letkol Ventje Sumual mendampingi Mayjen A.H. Nasution.
4 Juni 1957 Mayor M. Jusuf menjelaskan kepuasannya akan persetujuan yang dicapai dengan KSAD A.H. Nasution pada pertemuan 4 Juni oleh perwira² yang pertama kali merencanakan Permesta, yaitu mengenai terbentuknya KDM-SST. Sejak saat itu, Mayor M. Jusuf jelas merupakan pimpinan kelompok yang anti-Permesta. Ia dengan teguh didukung kepala staf KDM-SST, Mayor Her Tasning. Letkol M. Saleh Lahede, perwira senior asal Sulawesi Selatan yang dianggap paling dekat dengan Permesta jelas menjadi pimpinan kekuatan yang pro-Permesta di Makassar. Perwira² lainnya, termasuk Letkol Andi Mattalatta, Panglima KDM-SST sikapnya kurang jelas.
5 Juni 1957? Letkol Ventje Sumual menemui Mayjen A.H. Nasution serta membuat persetujuan kompromi. Letkol Sumual akan dijadikan kepala staf sebuah unit yang akan merencanakan pembentukan Staf Komando Koordinasi Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT).
6 Juni 1957 Briefing KSAD Mayjen A.H. Nasution kepada semua perwira TT-VII/Wirabuana yang akan dibubarkan di kediaman Gubernur Sulawesi dibatalkan kemudian dan diganti dengan rapat tertutup yang hanya dihadiri oleh Panglimanya Letkol Ventje Sumual, Kastaf KoDPSST Letkol M. Saleh Lahede, KSAD Mayjen A.H. Nasution, Kolonel Ahmad Yani serta Kolonel Dahlan Djambek. Dalam pertemuan tertutup ini, ia mengingatkan kembali akan pengkhianatan PKI di Madiun pada tahun 1948: "Kalau tuan² ingin digantung PKI, silahkan, tetapi kami di Indonesia Timur menolak."
Dalam rapat itu juga Letkol Ventje Sumual mengusulkan membentuk Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT, kemudian menjadi KOANDAIT) yang akan mengkoordinasikan keempat KDM di eks TT-VII/ Wirabuana. Usul ini diterima KSAD. Sebagai panglima KOANDAIT ditetapkan adalah Letkol Ventje Sumual sendiri. Namun sebelum upacara serah terima dan pembubaran TT-VII 8 Juni mendadak KSAD mengumumkan bahwa KOANDAIT yang akan dibentuk akan dipimpinnya sendiri dan Letkol Ventje Sumual hanya akan menjadi kepala staf saja dengan menerima kenaikan pangkat menjadi Kolonel.
(NB: KOANDAIT ini menjadi cikal bakal Kowilhan/Komando Wilayah Pertahanan).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Novryxc - Pemuda Petra Kinilow | Cacatan IT